Analisis Politik Kebijakan
Pertanahan Masa Orde Baru
(Studi Kasus Mengenai Kedudukan
Tanah
Sebagai Fungsi Sosial Dan Fungsi
Komoditas)
Oleh :
Eko Aryono
Latar Belakang
Tanah merupakan suatu faktor yang penting dalam kehidupan
suatu masyarakat. Permintaan akan tanah saat ini semakin meningkat dengan
tajam, bahkan dibanyak tempat telah terjadi komersialisasi tanah yang semakin
individualistik dan terkonsentrasi oleh sebagian pemiliki. Kejadian ini
menyebabkan fungsi tanah bergeser dan berubah menjadi fungsi ekonomi dan
industrial saja. Hal ini mengakibatkan penguasaan dan pemilikian tanah
cenderung terdistribusi terhadap suatu kelompok dan golongan saja sehingga
akses untuk mendapatkan tanah menjadi semakin sulit.
Persoalan ini perlu mendapat perhatian serius, karena tanah
merupakan suatu alat sosial yang dapat mensejahterakan rakyat sesuai dengan
yang diamanatkan pada pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Dalam rangka pembangunan
nasional untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila
dan Undang-undang Dasar 1945 tanah juga merupakan salah satu modal utama, baik
sebagai wadah pelaksanaan pembangunan maupun sebagai faktor produksi untuk
menghasilkan komoditas-komoditas perdagangan yang sangat diperlukan guna
meningkatkan pendapatan nasional.
Kedudukan tanah dalam pembangunan nasional itu juga ternyata
dari Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
II/MPR/1993 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara yang antara lain memberi
amanat sebagai berikut: "Penataan penguasaan tanah oleh negara diarahkan
agar pemanfaatannya dapat mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia, sedangkan penataan penggunaan tanah dilaksanakan secara berencana
guna mewujudkan kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya. Penataan penggunaan
tanah perlu memperhatikan hak-hak rakyat atas tanah, fungsi sosial hak atas
tanah, batas maksimum pemilikan tanah, termasuk berbagai upaya untuk mencegah
pemusatan penguasaan tanah yang merugikan kepentingan rakyat.
Realitas yang ada, ketentuan-ketentuan yang telah
diamanatkan oleh undang-undang tersebut tidak sesuai dengan keadaannya. Proses
pengadaan tanah masih menghadapi persoalan yang serius. Selain itu juga terjadi
konversi penguasaan dan penggunaan tanah yang semakin meningkat serta penduduk
Indonesia sebagian besar (80%) tidak memiliki sertifikat tanah. Ironisnya saat
ini, fungsi tanah telah bergeser dari fungsi sosial menjadi fungsi komoditas.
Hal ini menyebabkan hak-hak rakyat menjadi tidak terpenuhi dan tentu saja
ketentuan yang diamanatkan oleh konstitusi akan terlanggar.
Pergeseran orientasi pertanahan terjadi di Indonesia, dari
orde lama ke orde baru melahirkan beberapa kebijakan khususnya dibidang
pertanahan. Kebijakan dirumuskan tidak lepas dari beberapa faktor yang
mempengaruhinya diantaranya faktor sosial, faktor ekonomi dan faktor politik
yang berkembang pada saat merumuskan kebijakan tersebut. Pada masa orde baru
kebijakan pertanahan dititikberatkan pada penataan dan penguasaan tanah. Hal
ini diasumsikan karena terdapatnya pola pemilikan dan penguasaan tanah
tradisional yang mengalami ketimpangan dan menyebabkan keresahan politik,
terjadi ketidakadilan sosial, yang pada akhirnya menghambat perkembangan
ekonomi. Untuk itulah, diera orde baru pemerintah melalui kebijakannya membuka
peluang yang sebesarnya-besarnya kepada pemilik modal untuk menguasai tanah
rakyat dengan pertimbangan demi kepentingan pertumbuhan ekonomi. Namun,
disinilah bermula pergeseran kedudukan tanah dari fungsi sosial menjadi fungsi
komoditas.
Rumusan Masalah
Rumusan
masalahnya ialah bagaimana kebijakan poltik pertanahan pada masa orde baru,
terkhusus pada kedudukan tanah sebagai fungsi sosial dan sebagai fungsi
komoditas ?
Pembahasan
Kedudukan tanah sebagai fungsi sosial dan sebagai fungsi komoditas, dapat diketahui melalui sejarah pergeseran fungsi tanah dari orde lama ke orde baru. Pertimbangan kepentingan ekonomi merupakan alasan suatu negara berkembang untuk mengeluarkan berbagai kebijakan. Dalam hal ini termasuk kebijakan dibidang pertanahan. Sebagai negara berkembang, Indonesia tidak pernah lepas dari suatu tujuan yaitu meningkatkan nilai ekonomi dengan berlindung dibawah nama kesejahteraan masyarakat. Seperti yang telah diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dalam hal ini segala kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dibidang pertanahan semata-mata demi kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, demi mencapai tujuan kemakmuran rakyat maka pemerintah mengadakan reformasi dibidang pertanahan, mulai dari landreform.
Kedudukan tanah sebagai fungsi sosial dan sebagai fungsi komoditas, dapat diketahui melalui sejarah pergeseran fungsi tanah dari orde lama ke orde baru. Pertimbangan kepentingan ekonomi merupakan alasan suatu negara berkembang untuk mengeluarkan berbagai kebijakan. Dalam hal ini termasuk kebijakan dibidang pertanahan. Sebagai negara berkembang, Indonesia tidak pernah lepas dari suatu tujuan yaitu meningkatkan nilai ekonomi dengan berlindung dibawah nama kesejahteraan masyarakat. Seperti yang telah diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dalam hal ini segala kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dibidang pertanahan semata-mata demi kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, demi mencapai tujuan kemakmuran rakyat maka pemerintah mengadakan reformasi dibidang pertanahan, mulai dari landreform.
Pada tahun 1960-1965 kebijakan pertanahan lebih meniktik
beratkan pada upaya penataan struktur agraria yang tidak adil berdasarkan
prinsip nasionalisme Indonesia, serta mensyaratkan pentingnya peran negara yang
adil, akan tetapi, pada periode orde baru, pemerintah secara tergesa-gesa
memfokuskan kebijakan pembangunan baik sektor pertanian maupun sektor industri,
tanpa menyelesaikan terlebih dahulu penataan struktural masyarakat. Pada masa
orde baru, terutama pada periode deregulasi, alokasi penggunaan tanah lebih
difokuskan kepada kepentingan pertumbuhan ekonomi melalui pembukaan akses
seluas-luasnya bagi pemilik modal untuk menguasai tanah rakyat, sementara itu
peran negara dalam upaya melakukan distribusi sumber daya tanah secara adil
menjadi tereduksi.
Kebijakan pemerintah di masa orde baru tersebut membuahkan
hasil. Hal ini dapat dilihat pada masa orde baru perkembangan ekonomi melesat
dengan tajam. Pada masa ini kegiatan ekonomi di Indonesia menjadi sangat marak
tentu saja dengan masuknya para investor-investor dan menanamkan modalnya di
Indonesia, sehingga devisa negara ikut melambung tinggi. Selain itu berbagai
kebijakan dikeluarkan untuk meningkatkan ekspor non-migas melalui paket
deregulasi maupun debirokrasi. Pemerintah banyak memberikan berbagai fasilitas
kemudahan kepada investor baik dalam maupun luar negeri untuk menanamkan
modalnya di Indonesia. Hasilnya, Indonesia di tahun 1980-an dapat mempertahankan
tingkat pertumbuhan ekonominya.
Ironisnya, keberhasilan tersebut harus dibayar mahal oleh
rakyat Indonesia. Dengan meningkatnya tingkat pertumbuhan ekonomi, maka
berkembang pula perusahaan-perusahaan kawasan industri, perusahaan agribisnis,
perusahaan perkayuan,dan pariwisata yang kesemuanya menimbulkan berbagai kasus
sengketa tanah antara rakyat dan para pemilik modal yang mendapatkan dukungan
dari negara. Terjadi berbagai kasus pembebasan tanah yang dijadikan kawasan
industri, pembangunan infrastruktur ekonomi, penggusuran lahan pertanian untuk
kepentingan pariwisata dan sebagainya. Sementara perubahan drastis terjadi
ketika pemerintah Orde Baru mengambilalih kekuasaan dari Sukarno. Orde Baru
merubah paradigma pembangunan populistik menjadi paradigma kapitalistik.
Perubahan ini menempatkan tanah sebagai komoditi dan menjadi alas bagi
pertumbuhan ekonomi. Tidak heran undang-undang yang keluar pertama kali di awal
Orde Baru berkuasa adalah UU No 1 tahun 1967 mengenai penanaman modal asing.
Kemudian pada tahun 1970-an strategi pembangunan pertanianpun meninggalkan land
reform (UUPA 1960) sebagai syarat pembangunan pedesaan dan lebih memilih
revolusi hijau dan perluasan perkebunan besar serta industri kehutanan sebagai
jalan pintas untuk pembangunan ekonomi nasional. Orde Baru adalah pelajaran,
bagaimana perkawinan sistem ekonomi yang kapitalistik dengan sistem politik
yang otoriter melahirkan pola penguasaan tanah dengan dimensi kekerasan yang
sangat tinggi.
Kedudukan Tanah Sebagai Fungsi Sosial, Kedudukan tanah ini sangat
dipengaruhi oleh corak sosial-ekonomi suatu masyarakat. Setidaknya ada 3 tipe
corak sosial-ekonomi dalam sejarah perkembangan masyarakat, dimana kedudukan
tanah juga ditentukan oleh masing-masing tipe tersebut. Pertama, corak
masyarakat pra-kapitalis: Tanah dipandang sebagai alat produksi yang dikuasai
secara komunal. Tidak ada konsep kepemilikan dalam corak masyarakat seperti
ini. Tanah mempunyai fungsi sosial. Individu dapat mengelola dan memanfaatkan
tanah tanpa harus memiliki. Tanah adat adalah salah satu bentuk penguasaan alat
produksi dalam corak masyarakat seperti ini. Kewenangan pengaturan pemanfaatan
dan pengelolaan tanah ditentukan oleh hukum adat yang berlaku. Kedua, corak
masyarakat kapitalistik: Tanah dipandang sebagai alat produksi yang dimiliki
secara individual. Dalam konsep ini individu mempunyai hak dan dapat secara
bebas memiliki tanah atau memindahkannya melalui mekanisme pasar pada orang
lain. Pemanfaatan dan pengelolaan tanah menjadi hak sepenuhnya bagi si pemilik.
Masyarakat atau negara tidak bisa mengintervensi atau menghapus status
pemilikan tanah yang dipunyai seseorang kecuali harus melalui mekanisme
undang-undang yang telah ditetapkan. Ketiga, corak masyarakat sosialistik:
Hampir sama dengan pra-kapitalis, dalam corak masyarakat seperti ini tanah
dipandang sebagai alat produksi yang dikuasai secara kolektif. Konsep pemilikan
juga tidak dibenarkan. Perbedaannya dengan sistem pra-kapitalis adalah terletak
pada penguasaan secara kolektif ini berada dibawah kewenangan dan kontrol
negara. Keempat, corak masyarakat populistik: Tanah dipandang sebagai alat
produksi yang mempunyai fungsi sosial dan tidak dijadikan komoditi. Individu
atau masyarakat mempunyai hak untuk memiliki atau menguasai tanah, tapi
kepemilikan atau penguasaannya tidak absolut sebagaimana konsep pemilikan dalam
sistem kapitalistik. Negara berhak untuk intervensi apabila
kepemilikan/penguasaan tanah tersebut berkembang menjadi sumber eksploitasi
pihak lain. Sebaran penguasaan tanah dalam corak masyarakat seperti ini
berdasarkan pada rumah tangga dengan skala luasan yang merata. Tidak ada yang
menguasai tanah luas sementara yang lain tidak punya tanah sedikitpun.
Fungsi sosial pada tanah melekat seiring dengan eksistensi
hukum adat. Dimana masyarakat tidak harus memiliki tanda kepemilikan atas
tanah, namun dapat hanya dengan melakukan pengelolaan. Tanah oleh masyarakat
dapat dikelolah sesuai dengan kebutuhan tanpa mengindahkan ketentuan-ketentuan
dalam hukum adat. Seperti, masyarakat dapat mengelolah tanah atau sawah secara
individu maupun berkelompok, tanpa harus memiliki bukti kepemilikan karena
tanah tersebut merupakan hak ulayat dari masyarakat setempat. Selain itu,
fungsi sosial tanah berdasar pada kemakmuran rakyat dengan memberikan hak
pengelolaan.
Kedudukan Tanah Sebagai Fungsi Komoditas, Tanah merupakan faktor penting dalam
perkembangan ekonomi. Untuk pemerintah memerlukan suatu aturan yang didalamnya
memuat aturan yang mempermudah perolehan tanah dengan harga yang murah dan
kepastian hukum mengenai tanah merupakan suatu komoditi strategis dalam menarik
modal asing. Hal ini berarti tanah dapat dikategorikan merupakan barang
dagangan, dimana siapa yang memiliki uang maka daoat membelinya tanpa harus
dibatasi jumlahnya. Dengan demikian prinsip-prinsip dasar, bahwa tanah untuk
rakyat akan terabaikan, karena tanah akan tetap menjadi alat untuk melaksanakan
kepentingan perkonomian di Indonesia.
Apabila disimak secara mendalam, Indonesia setidaknya
mengalami 3 tahap perubahan kedudukan status tanah. Pertama, tanah dipandang
sebagai alat produksi yang dikuasai secara komunal yakni pada masa
pra-kapitalis. Kedua, tanah dipandang sebagai alat produksi yang dimiliki
secara individual dan berfungsi sebagai komoditi. Ini terjadi pada periode
kolonial Belanda yang dikenal sebagai tanah eigendom, tanah erfpacht dan tanah
opstal, atau yang sering dikenal dengan istilah tanah-tanah dengan hak-hak
barat. Namun, diluar hak-hak tersebut diakui juga tanah-tanah dengan hak-hak
Indonesia, seperti tanah adat. Tanah-tanah Indonesia belum semuanya terdaftar
kecuali tanah-tanah agrarisch eigendom, tanah-tanah milik di dalam kota
Yogyakarta, tanah-tanah milik di dalam kota-kota Surakarta, dan tanah-tanah
grant di Sumatera Timur. Tanah-tanah dengan hak-hak Indonesia yang belum
terdaftar inilah yang dalam perjalanan sejarahnya banyak menimbulkan konflik di
wilayah-wilayah tanah adat. Dan pernah pula kedudukan tanah dalam kerangka
sistem yang populistik. Hal ini terjadi pada periode setelah kemerdekaan hingga
jatuhnya pemerintahan Sukarno. UUPA 1960, spirit dan landasan filosofinya
menganut sistem populistik. Karena itu dalam UUPA 1960 menegaskan perlu
dilaksanakannya land reform sebagai syarat untuk pembangunan struktur agraria
yang adil dan merata. Dalam konsep ini yang seringkali ditonjolkan adalah Hak
Menguasai Negara (HMN).
Kesimpulan
Kedudukan fungsi tanah mulai mengalami pergeseran sejak masa orde baru. Dimana
pemerintah memprioritaskan kepentingan pertumbuhan ekonomi dengan fokus pada
investor-investor asing yang akan menanamkan modalnya di Indonesia. Tanah
merupakan salah satu aspek penting dalam mengisi pelaksanaan perkembangan
ekonomi tersebut . Tanah dinilai memiliki komoditas tinggi untuk dijual kepada
investor-investor yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia. Secara ekonomi,
Indonesia berhasil dimasa itu dalam melejitkan pertumbuhan ekonomi, namun
masyarakat dalam hal ini merupakan korbannya. Terjadi pembebasan lahan, dimana
terdapat sengketa antara masyarakat dan pemilik modal. Tentu saja, hal ini
menggeserkan fungsi sosial dari tanah. Tanah yang dulunya diperuntukan untuk
kemakmuran masyarakat. Masyarakat dapat mengelolah tanpa harus memiliki bukti
kepemilikan demi kemakmurannya sesuai dengan yang diamanatkan pasal 33 ayat (3)
UUD 1945.
Saran
Saran
pada penulisan ini yakni :
1. Pemerintah
seharusnya dapat memprioritaskan kemakmuran rakyat dengan tidak menjadikan tanah
sebagai komoditas strategis,
2. Pemerintah
dalam mengeluarkan kebijakan pertanahan sebaiknya mensyaratkan adanya peran
negara yang kuat dan adil dalam mendistribusikan sumber daya tanah.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Sofyan Husein. 1995. Ekonomi Politik Penguasaan Tanah. Jakarta
: Pustaka Sinar Harapan.
Boedi Harsono. 2005. Hukum Agraria Indonesia. Jakarta : Djambatan.
Endang Suhendar. 1995. Tanah sebagai komoditas.Jakarta : ELSAM
Maria Rita Ruwistuti.2000. “Sesat Pikir” Politik Hukum Agraria.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar