SEJARAH PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA
UUPA No. 5 Tahun 1960
Oleh :
Eko Aryono
Proses penyusunan rancangan UUPA dilakukan oleh
panitia-panitia yang berganti-ganti 5 kali selama kurang lebih 12 tahun panitia
rancangan, yaitu Panitia Agraria Yogyakarta, Panitia Agraria Jakarta, Panitia
Soewahjo, Rancangan Soenaryo dan Rancangan Sadjarwo.
Secara
garis besar hasil pekerjaan panitia-panitia itu sebagai berikut:
A.
Panitia
Agraria Yogyakarta
Pada tahun 1948
sudah dimulai usaha kongkret untuk menyusun dasar - dasar hukum agraria yang
baru, yang akan menggantikan hukum agraria warisan pemerintah jajahan, dengan
pembentukan Panitia Agraria yang berkedudukan di Ibukota Republik Indonesia,
Yogyakarta. Panitia dibentuk dengan penetapan Presiden Republik Indonesia
tanggal 21 Mei 1948 Nomor 16, diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo (Kepala
Bagian Agraria Kementerian Dalam Negeri) dan beranggotakan pejabat-pejabat dari
berbagai kementerian dan jawatan, anggota-anggota badan pekerja KNIP yang
mewakili organisasi-organisasi tani dan daerah, ahli-ahli hukum adat dan wakil
dari serikat buruh perkebunan. Panitia ini dikenal dengan Panitia Agraria Yogyakarta.
Panitia
bertugas memberi pertimbangan kepada pemerintah tentang soal-soal yang mengenai
hukum tanah seumumnya, merancang dasar-dasar hukum tanah yang memuat politik
agraria negara Republik Indonesia, merancang perubahan, penggantian, pencabutan
peraturan - peraturan lama, baik dari sudut legislatif maupun dari sudut
praktek dan menyelidiki soal-soal lain yang berhubungan dengan hukum tanah dan
dengan dibentuknya Panitia Agraria Yogyakarta, yang mengusulkan :
1) Meniadakan
asas domein dan hak ulayat, yaitu hak masyarakat hukum adat,
2) Mengadakan
peraturan mengenai hak perseorangan yang kuat, yaitu hak milik atas tanah,
3) Mengadakan
study perbandingan ke negara tetangga sebelum menetukan apakah orang asing
dapat pula mempunyai hak milik atas tanah,
4) Mengadakan
penetapan luas minimum pemilik tanah agar para petani kecil dapat hidup layak,
untuk pulau Jawa diusulkan 2 (dua) hektar,
5) Mengadakan
penetapan luas maksimum pemilikan tanah dengan tidak memandang jenis tanahnya,
untuk Pulau Jawa diusulkan 10 (sepuluh) hektar,
6) Menganjurkan
menerima skema hak-hak atas tanah yang diusulkan oleh Panitia ini oleh Sarimin
Reksodiharjo,
7) Perlunya
diadakan registrasi tanah milik dan hak-hak menumpang yang penting (annex
kadaster).
B.
Panitia
Agraria Jakarta
Sesudah
terbentuknya kembali Negara Kesatuan maka dengan keputusan Presiden Republik
Indonesia tanggal 19 Maret 1951 Nomor 36/1951 panitia terdahulu dibubarkan dan
dibentuk Panitia Agraria Baru, yaitu berkedudukan di Jakarta. Hal ini
disebabkan karena hingga tahun 1951 Panitia Agraria Yogyakarta belum dapat
menyelesaikan tugasnya karena terjadi perubahan bentuk pemerintah dari RIS ke
Negara Kesatuan RI. Setelah pusat pemerintahan Yogyakarta pindah ke jakarta, sehingga
disebutlah Panitia Agraria Jakarta,
Panitia ini diketuai oleh Singgih Praptodihardjo, Wakil Kepala Bagian Agraria
Kementerian Dalam Negeri. Tugas panitia ini hampir sama dengan panitia
terdahulu diYogyakarta Dalam laporannya kepada pemerintah mengenai tanah pertanian,
panitia ini mengusulkan :
1) Mengadakan
batas minimum pemilikan tanah, yaitu 2 (dua) hektar dengan mengadakan
peninjauan lebih lanjut sehubungan dengan berlakunya hukum adat dan hukum waris
2) Menentukan
batas maksimum pemilikan tanah, yaitu 25 (dua puluh lima) hektar untuk satu
kelarga,
3) Yang
dapat memiliki tanah pertanian hanya warga negara Indonesia, sedangkan badan
hukum tidak diperkenankan,
4) Untuk
pertanian kecil diterima bangunan-bangunan hukum: hak milik,hak usaha, hak sewa
dan hak pakai,
5) Hak
ulayat disetujui untuk diatur oleh atau atas kuasa undang-undang sesuai dengan
pokok-pokok dasar negara
C.
Panitia
Soewahjo
Karena panitia
Agraria Jakarta tidak dapat menyelesaikan penysunan rancangan UUPA Nasional
dalam waktu singkat, maka dengan Keputusan Presiden No. 1 Tahun 1956 tanggal 14
Januari 1956 Panitia Agraria Jakarta dibubarkan dan dibentuklah panitia Negara
Urusan Agraria yang diketuai oleh Soewahjo Soemodilogo, yang merupakan sekretaris
Jenderal Kementerian Agraria dan beranggotakan pejabat-pejabat dari berbagai
Kementerian dan jawatan, ahli-ahli hukum adat dan wakil-wakil beberapa
organisasi tani. Panitia ini berkedudukan di Jakarta, dalam waktu satu tahun,
tepatnya tanggal 1 januari 1957 Panitia ini telah merampungkan penyusunan
rancangan UUPA. Adapun pokok-pokok yang penting daripada Rancangan
Undang-Undang Pokok Agraria hasil karya panitia tersebut ialah[2]
:
1. Asas
domein dihapuskan diganti dengan asas hak menguasai oleh negara sesuai dengan
ketentuan psal 38 ayat 3 UUDS 1950,
2. Dihapuskannya
asas domein dan diakuinya hak ulayat, yang harus ditundukkan pada kepentinan
umum (negara).
3. Asas
bahwa tanah pertanian dikerjakan dan diusahakan sendiri oleh pemiliknya, tetapi
rancangan ini belum sempat disampaikan kepada DPR,
4. Dualisme
hukum agraria dihapuskannya, secara sadar diadakan kesatuan hukum yang akan
memuat lembaga-lembaga dan unsur-unsur yang baik, baik yang terdapat dalam
hukum adat maupun hukum barat
5. Hak-hak
atas tanah, hak milik sebagai hak terkuat, yang berfungsi sosial kemudian ada
hak usaha, hak bangunan dan hak pakai.
6. Hak
milik boleh dipunyai oleh orang-orang warga negara Indonesia yang tidak
diadakan perbedaan antara warga Negara asli dan tidak asli. Badan -badan hukum
pada asasnya tidak boleh mempunyai hak milik atas tanah.
7. Perlu
diadakan penetapan batas maksimum dan minimum luas tanah yang boleh menjadi milik
seseorang atau badan hukum,
8. Tanah
pertanian pada asanya harus dikerjakan dan diusahakan sendiri oleh pemiliknya,
9. Perlu
diadakan pendaftaran tanah dan perencanaan penggunaan tanah. Karena tugasnya
telah selesai, maka dengan Keputusan Presiden No. 97 Tahun 1958 tanggal 6 Mei
1958 Panitia ini dibubarkan.
D.
Rancangan
Soenarjo
Panitia
Soewahjo akhirnya digantikan dengan panitia Soenario, karena perkembangan yang
terjadi pada saat itu terlalu pesat maka pemerintah memerlukan pergantian
kepanitiaan sebelumnya. Keberadaan panitia ini sebenarnya hanya meneruskan
hasil kerja panitia sebelumnya maka pada tanggal 24 april 1958 pemerintah
menyampaikan naskah RUUPA yang diajukan oleh Menteri Soenarjo yang kemudian dikenal
dengan Rancangan Soenario kepada DPR
ke Dewan Perwakilan Rakyat, melalui amanat Presiden Soekarno tanggal 24 April
1958. Untuk membahas rancangan tersebut, DPR perlu mengumpulkan bahan-bahan
yang lebih lengkap. Untuk itu, DPR meminta kepada Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta untuk menyumbangkan pikirannya mengenai rancangan UUPA. Setelah
menerima bahan dari Universitas Gajhah Mada, dibentuklah Panitia Kerja ((Ad
Hoc) yang terdiri dari dari, Ketua merangkap anggota : A. M. Tambunan, Wakil
Ketua Merangkap anggota : Mr. Memet Tanumidjaja, Anggota-anggota :
Notosoekardjo, Dr. Sahar glr Sutan Besar, K.H. Muslich, Soepeno
adisiwojo, I. J. Kasimo. Selain dari Universitas Gajhah Mada, bahan-bahan
diperoleh juga dari Mahkamah Agung RI ayang diketuai oleh Mr. Wirjono
Prodjodikoro. Adapun tugas dari Panitia Ad Hoc yakni :
1. Membahas
Rancangan Undang-undang Pokok Agraria secara teknis yuridis,
2. Mempelajari
bahan-bahan yang bersangkutan dengan Rancangan Undang-undang Pokok Agraria
tersebut yang sudah ada dan mengumpulkan bahan-bahan yang baru,
3. Menyampaikan
laporan tentang pelaksanaan tugasnya serta usul-usul yang dipandang perlu
mengenai Rancangan Undang-undang Pokok Agraria kepada Panitia Permusyawaratan
DPR.
E.
Rancangan
Sadjarwo
Melalui
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 diberlakukan kembali UUD 1945. Karena rancangan
Soenarjo disusun berdasarkan UUDS 1950, maka pada tanggal 23 Maret 1960
rancangan tersebut ditarik kembali. Dalam rangka menyesuaikan rancangan UUPA
dengan UUD 1945, perlu diminta saran dari Universitas Gadjah Mada. Untuk itu,
pada tanggal 29 Desember 1959, Menteri Agraria Mr. Sadjarwo beserta stafnya
Singgih Praptodihardjo, Mr. Boedi Harsono, Mr. Soemitro pergi ke Yogyakarta
untuk berbicara dengan pihak Universitas Gajhah Mada yang diwakili oleh Prof.
Mr. Drs. Notonagoro dan Drs. Iman Sutignyo. Setelah selesai penyesuaian dengan
UUD 1945 dan penyempurnaannaya maka rancangan UUPA diajukan kepada DPR-GR dalam
sidingnya pada tanggal 1 Agustus 1960, sesuai dengan amanat Presiden Soekarno
Nomor 2584/ HK/60.
Dalam siding pleno sebanyak 3 kali,
yaitu tanggal 12,13 dan 14 September 1960 diadakan pemeriksaan pendahuluan,
yang kemudian dengan suara bulat DPR-GR menerima baik Rancangan Undang-undang
Pokok Agraria. Pada hari Sabtu, tanggal 24 september 1960 Rancangan Undang-undang
Pokok Agraria (UUPA) disetujui oleh DPR-GR dan kemudian disahkan oleh Presiden
RI menjadi UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria,
LNRI Tahun 1960 No. 104 - TLNRI No. 2043 yang menurut Dictum kelimanya disebut
Undang-undang Pokok Agraria atau yang lazimnya disebut Undang-undang (Landreform).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar