Kamis, 01 Juni 2017

Pemerintahan Lokal ditinjau Aspek Pluralis-Marxisme


PELAKSANAAN PEMERINTAHAN LOKAL
DITINJAU DALAM ASPEK PLURALIS DAN MARXISME
Oleh :
Eko Aryono

1.      Pada Aspek Pluralis
Pemerintah Kota Palopo dalam menjalankan perannya, dalam segi keamanan dalam rangka menjaga pluraslime diantara lingkup masyarakatnya, salah satunya yakni, Pemerintah Kota Palopo mengadakan Rapat koordinasi (Rakor) dan diskusi pengamanan Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1437 H yang digelar di ruang Data Mapolres Palopo, Pada Hari Jumat, Tanggal 24 Juni 2016. Rakor tersebut berhasil menetapkan pelaksanaan operasi Ramadan yang dimulai pada sekira pukul 09:50 Wita hingga pukul 11:30 Wita. 
Operasi Ramadniya 2016 yang telah ditetapkan akan dilaksanakan selama 16 hari yang dimulai tanggal 30 Juni sampai dengan 15 Juli 2016 mendatang. Pada pertemuan tersebut juga dihadiri langsung oleh Wali Kota Palopo, HM Judas Amir, Kapolres Palopo, AKBP Dudung Adijono SIk Pemerintah Kota palopo dalam hal ini Dinas Koperindag untuk melakukan sidak pasar agar tidak ada pedagang yang main-main dengan harga.
Wali Kota Palopo, HM Judas Amir juga memberikan dukungan penuh kepada pihak kepolisian, TNI dan intansi terkait dalam upayanya menciptakan situasi kamtibmas (Keamanan, Ketertiban masyarakat) di Kota Palopo. Apalagi menjelang lebaran. Wali kota juga akan mencoba melakukan koordinasi dengan dinas terkait soal bantuan dana operasi pengamanan lebaran.  Pada rakor yang dilaksanakan juga membahas mengenai masalah transportasi angkutan darat juga di soal seperti kenaikan tarif angkutan serta pemeriksaan kesehatan para sopir-sopir bus sebelum mengemudikan. Sementara itu Kapolres Palopo pada kesematan tersebut juga menyamaikan selama 19 hari Ramadan, ada empat tindak pidana dan penyakit masyarakat yang mendominasi. Diantaranya, kasus curian motor, narkoba, balapan liar dan petasan. Juga ada sekali perkelahian antar warga  di wilayah hukum Polsek Wara Selatan. Pada kesempatan itu juga kapolres meminta bantuan kepada wali kota untuk memasang CCTV di titik-titik yang dianggap rawan. Seperti di seputar gedung saidenrae, lapangan Pancasila, pusat-pusat perbelanjaan dan sejumlah titik lainnya. "ini diharapkan agar beberapa kejadian tindakan krimanal yang terjadi akan memudahkan pihak kepolisian mengidentifikasi pelaku,” harapnya.
Beberapa Permasalahan lain juga dibahas, seperti, pedagang dadakan yang menjajakan dagangannya hingga ke badan jalan. Serta Peredaran uang palsu dan Ancaman-ancaman teroris juga patut diwaspadai. Kapolres juga mengharapkan kepada pihak PLN, selama Ramadan dan lebaran jangan ada mati lampu.
Pelaksanaan Operasi Ramadniya 2016 ini merupakan operasi terpusat terkait kegiatan masyarakat, perkiraan ancaman dan penindakannya. Itu sebelum, saat dan pasca lebaran. Dan pada operasi Ramadniya 2016, Polres Palopo Turunkan 214 Personil  Selain Walikota Palopo, HM Judas Amir, Kapolres Palopo, AKBP Dudung Adijono SIk, turut hadir pada rakor tersebut yakni Dansubdenpom VII/4-1 Palopo, Kapten Cpm Adi Santoso, Pasi Ops Kodim 1403/Swg, Lettu Syarifuddin (mewakili Dandim 1403/Swg, Letkol Kav Cecep Tendi Sutandi), camat, lurah, Ketua Senkom, perwakilan Satpol PP, PLN, Dishub, pramuka, Dinkes, kapolsek-kapolsek dan para kasat Polres Palopo

2.      Pada Aspek Marxisme
Salah satu program yang digencarkan pemerintahan Jokowi saat ini adalah pembangunan infrastruktur. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015-2019 beberapa prioritas infrastruktur yang akan dibangun antara lain: jalan tol, pelabuhan, waduk, bandar udara, rel kereta api dan kilang minyak. Berbagai kebijakan dibuat demi melancarkan ambisi ini.
Dengan alasan meningkatkan anggaran pembangunan infrastruktur, Pemerintah memangkas berbagai pos yang dipandang tidak efektif dalam APBN. Salah satunya adalah mencabut subsidi BBM dengan melepas harganya ke mekanisme pasar, belum lagi subsidi untuk pelanggan rumah tangga 450-900 KWh, juga telah dicabut pada tahun 2016 dan yang lebih mirisnya untuk bisa menambah anggaran pembangunan infrastruktur, sumber pembiayaan lainnya yakni dengan menambah jumlah utang luar negeri. Menurut keterangan pejabat Kementerian Keuangan, Pemerintah juga mendapatkan utang sebesar Rp 50 triliun pertahun selama lima tahun ini untuk membiaya infrastruktur baik yang berasal dari ADB, IDB, JICA, Tiongkok, Australia dan Eropa (Detikfinance, 27/02/2015). Bank Dunia juga telah berkomitmen untuk memberikan utang sebesar 12 miliar USD yang antara lain untuk pembangunan infrastruktur.
Untuk memperbesar akses pinjaman, Pemerintah Indonesia juga ikut andil dalam pembentukan Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) dengan menyetorkan dana sebesar US$ 672,1 juta atau Rp 8,9 triliun. Bank infrastruktur yang digagas Tiongkok tersebut akan menjadi sumber pinjaman baru selain dari lembaga-lembaga donor yang telah menjadi langganan Indonesia.
Sumber pembiayaan terbesar infrastruktur yang diharapkan Pemerintah adalah investor swasta. Pelibatan investor swasta bahkan menjadi strategi pembangunan infrastruktur saat ini. Pada RPJMN tahun 2015-2019 disebutkan: “Skema Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) dijadikan sebagai development approach dalam pembangunan infrastruktur sektoral maupun lintas sektor serta meningkatnya peran serta badan usaha dan masyarakat dalam pembangunan dan pembiayaan infrastruktur.” Yang berakibat pada rencana pemerintah untuk menggandengkan pembangunan infrastruktur melalui bantuan dari swasta asing/ investor. Berbagai cara ditempuh agar investor, khususnya asing, berminat menanamkan modalnya di negeri mulai dari mengundang mereka secara khusus, melakukan presentasi di berbagai forum-forum internasional, menjalin kerjasama bilateral dengan sejumlah negara khususnya dengan Tiongkok, hingga melakukan relaksasi sejumlah regulasi investasi seperti pemberian tax holiday dan tax amnesty hingga pemberian izin kepemilikan properti oleh asing.
Akibatnya Pembangunan dan pengelolaan sejumlah infrastruktur di Indonesia sejatinya telah mengandalkan peran swasta untuk dikelola secara komersil. Jalan tol, misalnya, dari sekitar 900 kilometer yang terbangun, 576 km di antaranya dioperasikan oleh BUMN PT Jasa Marga dan sisanya oleh swasta. Meskipun demikian, semuanya dikelola secara komersil. Akibatnya, tarif jalan tol senantiasa naik dari waktu ke waktu, tak peduli tingkat kemacetan dan pelayanannya di beberapa ruas semakin buruk. Dalam UU No. 38 2004 tentang Jalan, disebutkan bahwa tarif tol, selain dihitung berdasarkan kemampuan bayar pengguna jalan dan besar keuntungan biaya operasi kendaraan, juga ditentukan oleh kelayakan investasi. Evaluasi dan penyesuaian tarif tol juga dilakukan setiap dua tahun sekali dengan menyesuaikan laju inflasi. Aturan ini merupakan jaminan bahwa pendapatan operator akan selalu menguntungkan.
Contoh lainnya adalah proyek pembangkit listrik 35 ribu megawatt. Dari jumlah tersebut, PLN hanya diberikan 10 ribu megawatt. Sisanya diserahkan kepada swasta. Bahkan untuk mempercepat proyek ambisius tersebut sebagian dilakukan melalui penunjukan langsung alias tanpa tender. Di samping investor lokal, sejumlah investor asing asal Tiongkok, Korea Selatan, Jepang dan Eropa telah menyatakan minat mereka untuk menggarap proyek tersebut. Untuk produsen swasta atau yang dikenal dengan independent power producer (IPP), listrik yang mereka produksi dijual ke PLN sesuai dengan hasil negosiasi yang paling menguntungkan. Jika biaya produksi atau tingkat keuntungan yang diinginkan naik maka harga jual kepada PLN akan ikut naik. PLN juga didorong agar fokus mengelola jaringan distribusi, transmisi dan maintenance, sementara urusan pembangkit listrik diserahkan kepada IPP. Agar tetap menguntungkan, harga di tingkat konsumen dilepas ke mekanisme pasar.  Dengan demikian PLN dan IPP tetap untung, sementara Pemerintah tak perlu menanggung subsidi. Hal serupa juga terjadi pada pelabuhan. Dengan alasan lebih efisien dan memiliki manajemen teknologi lebih maju, mereka diberi kelonggaran untuk mengelola pelabuhan nasional seperti Hutchison Port Holding (Hongkong) di Pelabuhan Petikemas Tanjung Priuk dan Dubai Port di Tanjung Perak Surabaya.
Akibatnya, Motif investasi swasta tidak lain adalah memaksimalkan laba agar pendapatan pemilik saham meningkat. Akibatnya, komersialisasi infrastruktur publik seperti jalan, listrik dan air membuat akses publik terhadap layanan dasar tersebut terutama bagi penduduk yang kurang mampu menjadi kian mahal. Keterlibatan swasta dalam pengelolaan infrastruktur juga tidak menjamin kualitas akan menjadi lebih baik. Sekedar contoh, pengelolaan air di DKI Jakarta yang diserahkan kepada swasta tidak saja membuat harga air semakin mencekik, namun kualitas air juga semakin buruk. Proyek 10 ribu megawatt yang didominasi investor Tiongkok kualitasnya sangat buruk dibandingkan yang dibangun oleh anak perusahaan PLN. Laporan Public Services International(PSI) dengan tajuk “Why Public-Private Partnerships (PPPs) don’t work” memaparkan bagaimana buruknya pembangu-nan infrastruktur di sejumlah negara yang melibatkan swasta dibandingkan jika dilakukan oleh Pemerintah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar