ANALISIS DAMPAK DESENTRALISASI
PENDIDIKAN TERHADAP
KINERJA DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN / KOTA
Oleh
Eko Aryono
A. Pendahuluan
Setiap perubahan, khususnya perubahan dalam
kebijakan nasional, pasti ada dampak yang mengiringinya. Demikian pula dengan
perubahan kebijakan pemerintahan yang semula berbentuk sentralisasi menjadi
desentralisasi. Pengalaman internasional menunjukkan adanya hasil positif dari
desentralisasi, yang teramati sekurang-kurangnya dalam empat hal, yaitu : (1)
meningkatkan mutu pendidikan (2) mempertinggi tingkat efisiensi bidang
administrasi (3) membuat biaya pendidikan lebih hemat, dan (4) berdampak pada
kesetaraan pada pendidikan.
Tujuan desentralisasi pendidikan adalah
meningkatkan prestasi belajar siswa, sekaligus menarik kepedulian poemerintah
daerah untuk lebih ikut memikirkan pengembanagn pendidikan. Seperti apa yang
pernah dikatakan oleh penganjur desentralisasi pendidikan, mutu pembelajaran
akan mningkat, yang selanjutnya dapat meningkatkan prestasi belajar siswa
apabila ada hubungan yang erat antara pengelola dengan pelaksana. Realisasi
dari upaya dimaksud adalah bahwa pengelola mampu memobilisasi kepala sekolah,
guru, dan personel lain yang berkepentingan dengan sekolah, agar bekerja lebih
baik. Pengalaman di New Zealand dan Brasil menunjukkan bahwa keseriusan
pengelola dalam menangani desentralisasi telah membuahkan hasil yang
meyakinkan, yang terjadi di Indonesia, desentralisasi yang dimulai tahun 2001
melimpahkan sebagian wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah kabupaten /
kota. Dalam sektor pendidikan, perubahan yang mendasar terdapat pada
penggabungan antara Kandep Kabupaten / kotamadya dengan Cabang Dinas P dan K.
Semula antara dua lembaga tersebut terdapat pembagian tugas yang terpisah.
Kandep Depdiknas mengerjakan tugas operasional kurikulum, yaitu bidang akademik
atau edukatif, sedangkan Dinas P dan K mengerjakan urusan 3M, yaitu Man
(personel), Money(keuangan) dan Material (sarana dan prasarana). Setelah
desentralisasi, yang ada hanya satu kantor, yaitu Dinas Pendidikan.
Setelah digabungkan menjadi satu kantor, semua
tugas menjadi tanggungjawab lembaga gabungan tersebut. Personil yang menjabat
di kantor gabungan ini, selain berasal dari dua kantor yang bergabung, juga ada
yang berasal dari kantor lain, misalnya Kantor Wilayah Departemen Pendidikan
Nasional Tingkat Provinsi, bahkan ada juga beberapa orang hasil mutasi yang
berasal kantor yang tidak menangani masalah pendidikan, antara lain kantor
pemerintah daerah atau Bappeda, atau dinas lain. Diasumsikan bahwa dengan
adanya penggabungan dua pekerjaan dan personel di dalamnya, terjadi gangguan
kelancaran kerja, baik di dalam kantor itu sendiri maupun dalam hubungannya
dengan unit yang ada di bawahnya, yaitu di kecamatan. Diantara hubungan yang perlu
mendapat perhatian adalah Dinas Pendidikan kabupaten/kota dengan sekolah yang
menjadi tanggungjawabnya, serta dalam hubungannya dengan pihak-pihak terkait di
dalam lingkungan wilayah kabupaten/kota.
B. Proses
Desentralisasi dari Waktu ke Waktu
Pengalaman internasional menunjukkan bahwa desentralisasi dalam
pendidikan dapat mengurangi tumpang-tindih urusan, dan atau keruwetan prosedur
birokrasi, serta dapat memotivasi personil menjadi lebih produktif. Namun di
samping yang berdampak positif, ada juga yang berdampak negatif antara lain
karena adanya ‘kekuasaan’ baru yang barangkali belum diantisipasi dan ditata
sebelumnya. Dampak positif dapat dilihat dengan apa yang terjadi di Meksiko. Di
negara tersebut, desentralisasi pendidikan dapat menghemat dana karena adanya
pengurangan personil yang menduduki jabatan akibat ada perampingan. Demikian
juga di Indonesia dengan penggabungan dua kantor pendidikan di tingkat
kabupaten/kota. Bagaimana dampak penggabungan, mutasi, dan pengurangan pejabat
di dalam kantor menjadi objek dari analisis situasi ini.
Di
Indonesia, desentralisasi pendidikan menyertai adanya kebijakan otonomi daerah.
Ujicoba otonomi daerah sendiri sebetulnya sudah dilaksanakan pada era Orde
Baru, yaitu pada tahun 1995 dengan cakupan 26 kabupaten/kota di Indonesia yang
peresmian dilakukannya oleh Presiden Suharto di Istana Negara pada tanggal 25
April 1995. Ujicoba ini merupakan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah No.
45/1992 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah dengan titik Berat pada Daerah
Tingkat II, juncto Undang-undang No.5/1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di
daerah. Dengan ujicoba ini, pada mulanya pemerintah merencanakan untuk
melakukan otonomi daerah secara bertahap. Ujicoba di 26 kabupaten dan kota itu
rencananya akan dievaluasi terus-menerus. Berdasarkan pengalaman dan hasil
evaluasi tersebut, diseminasi akan dilakukan terhadap kabupaten/kota lainnya
sehingga dalam jangka waktu 10-15 tahun sebagian besar kabupaten/kota (saat ini
ada sekitar 400 buah) telah melakukan otonomi daerah.
Pada bulan Juli 1997, badai krisis moneter mulai
melanda Indonesia dan banyak negara Asia lainnya, terutama Malaysia, Thailand, dan
Korea Selatan. Sementara negara-negara lain tersebut dengan cepat bangkit dari
badai, Indonesia justru makin terpuruk. Pada tahun 1997, IMF datang untuk
membantu pemulihan ekonomi Indonesia, tapi pada saat itu krisis di Indonesia
sudah terlanjur berat. Krisis moneter semakin meluas menjadi krisis ekonomi,
krisis politik, krisis sosial, krisis budaya, krisis moral, dan krisis
kepercayaan luar negeri. Itulah sebabnya krisis tersebut lebih dikenal dengan
krisis multi dimensi. Akhirnya, pada bulan Mei 1998 terjadi gerakan reformasi
yang secara dramatis menjatuhkan pemerintahan Orde baru di bawah Presiden
Suharto yang telah bertahan selama 32 tahun. Segala yang berbau Orde Baru
dihujat habis, seakan-akan identik dengan kesalahan dan “dosa”. Demonstrasi
massa terjadi tanpa henti. Hampir tiada hari tanpa demo. Semangat pun
menggebu-gebu untuk melakukan reformasi dalam segala bidang yang diduga menjadi
biang penyakit selama ini. Salah satu di antaranya adalah sistem pemerintahan
yang terlalu sentralistik pada masa itu, diubah secara radikal menuju sistem
yang super desentralistik.
Pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie,
keluarlah UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25/1999 tentang
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Kedua UU ini disusul lagi dengan
berbagai perangkat peraturan yang dilandasi semangat desentralisasi dan otonomi
daerah, di antaranya adalah pada masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid,
keluar PP No. 25/2000 tentang Pembagian Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Provinsi sebagai Daerah Otonom. Dalam PP inilah dirinci urusan-urusan yang
ditangani oleh Pusat dan Provinsi. Uniknya PP ini ialah bahwa kewenangan
kabupaten/kota yang justru merupakan sebagian besar urusan yang
didesentralisasikan (diotonomi-daerahkan) tidak disebutkan secara khusus.
Logika yang digunakan adalah bahwa apa yang bukan kewenangan Pusat dan
Provinsi, tentunya otonomi menjadi kewenangan kabupaten/kota.
C. Peran
Kantor Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota
Peran Dinas pendidikan Kabupaten/Kota setelah
desentralisasi pendidikan jelas berbeda dengan sebelumnya. Kalau dahulu yang
berperan penting adalah Kantor Wilayah Diknas Provinsi, dan Kantor Diknas
kabupaten/kota hanya merupakan perpanjangan tangan dari Kanwil Diknas tingkat
Provinsi, yang kebijaksanaan kegiatannya banyak dituntun dari pusat, setelah
desentralisasi kewenangan berpindah ke kabupaten/kota. Dengan demikian peran
Diknas Kabupaten/kota menjadi bertambah besar. Tugas dan fungsi kantor ini
sangat menentukan ‘nasib’ pendidikan yang ada di wilayahnya. Dengan tugas dan
fungsi sekolah-sekolah sebagai penyelenggara pendidikan secara langsung, maka
Dinas Pendidikan Kabupaten/kota adalah pengelola atau koordinator dari
lembaga-lembaga pendidikan yang ada di daerah yang bersangkutan.
Apabila dulu kebutuhan untuk pendidikan sekolah
diajukan ke pusat melalui mekanisme pengusulan langsung, dalam era
desentralisasi pendidikan, usulan seperti itu dilakukan melalui pemerintah
daerah / Bappeda yang disetujui oleh DPRD. Apabila Dinas Pendidikan tidak
pandai-pandai menyusun perencanaan yang operasional disertai rincian dana yang
jelas dan rasional pula, mungkin sekali usulan ini tidak dimengerti oleh pihak
pemerintah daerah dan DPRD. Akibatnya dapat ditebak, usulan seperti itu
biasanya ditolak. Jika terjadi penolakan seperti itu, yang menanggung akibatnya
adalah sekolah-sekolah. Untuk menjaga terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan
seperti ini, pengusulan kebutuhan dana pendidikan untuk semua sekolah dan
kantor pendidikan harus dibuat oleh orang-orang yang memiliki kemampuan handal.
Dengan kata lain, personil di Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota harus dipilih
orang-orang yang memahami pendidikan.
Tulisan ini diharapkan dapat mendapatkan
perhatian bersama untuk lebih mencermati kemampuan Diknas kabupaten/ kota
sebagai agregat, serta personil-personil yang ada di dalamnya. Ikatan sarjana
(dan pemerhati) Manajemen Pendidikan Indonesia pasti terpanggil untuk
memperhatikannya. Jika selama ini perhatian masih lebih banyak ditujukan pada
teknis operasional di sekolah-sekolah- bahkan tertuju pada lingkup yang sempit,
yaitu proses belajar- mengajar- kini sudah waktunya meluaskan cakrawala
pemikiran pada lingkup yang lebih luas yang tidak lepas dari dan justru
merupakan muara keberhasilan, yaitu Kantor Diknas Kabupaten/ kota berhasil
memperjuangkan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar