Perbedaan Pendekatan Tradisional,
Behavioral, Post-Behavioral
Pendekatan dalam ilmu politik pun
terbagi menjadi 3, yaitu :
1. Pendekatan tradisional
2. Pendekatan behavioral
3. Pendekatan post-behavioral
Tradisional
|
Behavioral
|
Postbehavioral
|
Mencampuradukkan
fakta dengan nilai; Spekulatif
|
Memisahkan
fakta dengan nilai
|
Fakta
dan nilai bergantung pada tindakan serta relevansi antar keduanya
|
Preskriptif
dan normatif
|
Nonpreskriptif,
obyektif, dan empiris
|
Bersifat
kemanusiaan serta berorietasi masalah; Normatif
|
Kualitatif
|
Kuantitatif
|
Kualitatif
dan kuantitatif
|
Memperhatikan
keteraturan atau ketidakteraturan
|
Memperhatikan
keseragaman dan keteraturan
|
Memperhatikan
keteraturan atau ketidakteraturan
|
Etnosentris;
Fokus utamanya pada negara demokrasi Barat (AS dan Eropa)
|
Etnosentris;
Fokus utama pada model Anglo Amerika
|
Fokus
pada Dunia Ketiga
|
Deskriptif,
parokial, dan negara sentries
|
Abstrak,
konservatif secara ideologis, dan negara-sentris
|
Teoretis,
radikal, dan berorientasi perubahan
|
Fokus
utama pada struktur politik yang formal (konstitusi dan pemerintah)
|
Fokus
utama pada struktur serta fungsi kelompok-kelompok formal dan informal
|
Fokus
pada kelompok kelas dan konflik antarkelompok
|
Historis
atau ahistoris
|
Ahistoris
|
Holistik
|
Ketiga
pendekatan dalam ilmu politik memang dikategorisasi berdasarkan periode.
Pendekatan tradisional muncul terlebih dahulu (sejak zaman Yunani Kuno) untuk
kemudian secara berturut-turut, disusul dua pendekatan setelahnya. Para pemikir
politik seperti Plato atau para ahli politik seperti Montesquieu, Jean Jacques
Rousseau atau John Stuart Mill mendekati permasalah politik dengan pendekatan
tradisional. Pasca Perang Dunia Kedua, muncul pendekatan Behavioral yang coba
memisahkan fakta dengan nilai dalam menganalisis permasalahan politik. Para
teoretisi seperti David Easton, David E. Apter atau Gabriel A. Almond adalah
contohnya.
Saat
pendekatan Behavioral dinilai tidak lagi “sensitif” di dalam menganalisa gejala
politik, pada tahun 1960-an muncul pendekatan Postbehavioral. Teoretisi seperti
Andre Gunder Frank, Cardoso, atau di Indonesia Arief Budiman (?) mencoba
menganalisis gejala politik secara lebih komprehensif dengan memperhatikan
karakteristik wilayah serta kepentingan apa yang sesungguhnya melandasi sebuah
tindakan politik. Ketiga pendekatan ilmu politik ini tidak terpisah
(terkotakkan) secara “zakelijk” (tepat/pasti) melainkan kadang tercampur satu
sama lain.
A. Pendekatan
Legal/Institusional/ Tradisional
Pendekatan Legal/Institusional sering
dinamakan pendekatan tradisional, mulai berkembang abad 19 sebelum Perang Dunia
II. Dalam pendekatan ini negara menjadi fokus pokok, terutama segi
konstitusional dan yuridisnya. Bahasan tradisional menyangkut antara lain sifat
dari UUD, masalah kedaulatan, kedudukan dan kekuasaan formal serta yuridis dari
lembaga-lembaga kenegaraan seperti parlemen, badan eksekutif, dan badan
yudikatif. Bahasan ini lebih bersifat statis dan deskiptif daripada analitis,
dan banyak memakai ulasan sejarah.
Yang terjadi,
pendekatan tradisional lebih sering bersifat normatif (yaitu sesuai dengan
ideal atau standar tertentu) dengan mengasumsikan norma-norma demokrasi Barat.
Di samping itu, bahasan biasanya terbatas pada negara-negara demokrasi Barat,
seperti Inggris, Amerika, Prancis, Belanda dan Jerman. Pendekatan ini cenderung
untuk mendesak konsep kekuasaan dari kedudukan sebagai satu-satunya faktor
penentu, sehingga menjadi hanya salah satu dari sekian banyak faktor (sekalipun
mungkin penentu yang paling penting) dalam proses menbuat dan melaksanakan
keeputusan.
Penerapan
di Indonesia, yakni karena berpedoman dengan UUD,
masalah kedaulatan, kedudukan dan kekuasaan serta keamanan masyarakat. maka
seringkali pemerintah, menerapkan kebijakan, seperti pembatasan jam malam, demi
melindungi masyarakat, mencegah pencurian, mencegah adanya penindasan
antarwarga, mencegah perkosaan antarwarga termasuk juga menerapkan pembekuan
kritikan dari masyarakat, demi membuat pekerjaan pemerintah lebih efektif,
selaras, cepat, efisien, pembangunan berjalan dengan lancer. Hanya saja dampak
negatif dari pendekatan tradisional, yakni masyarakat akan merasa tertekan,
karena perilaku pemerintah yang seakan semena-mena terhadap masyarakatnya.
B. Pendekatan
Perilaku/ Behavioral
Pendekatan Perilaku timbul dan mulai
berkembang di Amerika pada tahun 1950-an seusai Perang Dunia II. Adapun
sebab-sebab kemunculannya adalah sebagai berikut. Pertama, sifat
desktiptif dari ilmu politik dianggap tidak memuaskan, karena tidak realistis
dan sangat berbeda dengan kenyataan sehari-hari. Kedua, ada kekhawatiran
bahwa jika ilmu politik tidak maju dengan pesat, ia akan ketinggalan dibanding
dengan ilmu-ilmu lainnya, seperti sosiologi dengan tokohnya Max Weber
(1864-1920) dan Talcott Parson (1902-1979), antropologi dan psikologi. Ketiga,
di kalangan pemerintah Amerika telah muncul keraguan mengenai kemampuan sarjana
ilmu politik untuk menerangkan fenomena politik.
Salah satu pemikiran
pokok dari Pendekatan Perilaku ialah bahwa tidak ada gunanya membahas
lembaga-lembaga formal, karena pembahasan seperti itu tidak banyak memberi
informasi mengenai proses politik yang sebenarnya. Sebaliknya, lebih bermanfaat
untuk mempelajari perilaku (behaviour) manusia karena merupakan gejala
yang benar-benar dapat diamati. Pendekatan ini tidak menganggap lembaga-lembaga
formal sebagai titik sentral atau sebagai aktor yang independent, tetapi hanya
sebagai kerangka bagi kegiatan manusia.
Mereka pada umumnya meneliti
tidak hanya perilaku dan kegiatan manusia, melainkan juga orientasinya terhadap
kegiatan tertentu seperti sikap, motivasi, persepsi, evaluasi, tuntutan,
harapan, dan sebagainya.
Salah satu ciri khas
Pendekatan Perilaku ini ialah pandangan bahwa masyarakat dapat dilihat sebagai
suatu sistem sosial, dan negara sebagai suatu sistem politik yang menjadi
subsistem dari sistem sosial. Gabriel Almond berpendapat bahwa semua
sistem mempunyai struktur (institusi atau lembaga) dan unsur-unsur dari
struktur ini menyelenggarakan beberapa fungsi. Fungsi ini bergantung pada
sistem dan juga bergantung pada fungsi-fungsi lainnya. Konsep ini sering
disebut pandangan structural-functional.
Penerapan
di Indonesia yakni perilaku penyelenggara urusan
publik, yang dilakukan oleh Birokrasi, seperti oknum Pegawai Negeri Sipil/
Aparatur Sipil Negara.
Kondisi birokrasi di Tanah Air selama ini dianggap masih
banyak kekurangan. Birokrasi di negara ini dipandang sebagai sesuatu yang
boros, tidak efektif, lambat, tidak kreatif, kurang responsif dan sensitif
terhadap publik. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya krisis ketidakpercayaan terhadap pemeritah yang akut
di Indonesia. Persepsi masyarakat terhadap birokrasi sering kali kurang
simpatik dan berkonotasi negatif. Hal ini berdasarkan pengalaman, bahwa
birokrasi yang lalu mendapatkan tantangan berat dalam menampilkan model
birokrasi yang ideal, seperti terjadinya politisasi birokrasi yang telah
menyebabkan tidak netralnya birokrasi dalam pemerintahan (terutama menjelang
pilkada atau pilpres). Ada beberapa faktor yang dapat diidentifikasi sebagai
tantangan birokrasi saat ini. Pertama,
rendahnya pengetahuan dan keterampilan aparat birokrasi. Kedua, birokrasi yang terlalu ‘gemuk’ sehingga membebani keuangan
negara. Ketiga, perilaku dan gaya
birokrasi yang jauh dari jati diri masyarakatnya.
Aparat birokrasi telah terkooptasi sikap dan perilakunya
oleh kepentingan-kepentingan pribadi dan politik sang patron (pimpinan) yang cenderung vested interest. Profil aparat birokrasi
telah dibentuk sedemikian rupa sehingga tidak lagi menjadi alat rakyat, tetapi
telah menjadi alat penguasa dan bahkan mereka seringkali menampakkan dirinya
sebagai penguasa itu sendiri. Mereka menjadi sangat arogan, ingin menang
sendiri, merasa benar sendiri dan menafikan kepentingan rakyat dan terlebih lagi lemahnya proses
rekruitmen, seleksi serta pengembangan sumberdaya manusia (SDM) yang tidak
terprogram dengan baik. Seperti
yang dapat dilihat bahwa banyak
birokrasi publik yang diisi oleh tenaga-tenaga yang tidak profesional (the
wrong man in the right place). Tidak diterapkannya merit sistem, tetapi
atas dasar rasa like and dislike.
Adanya tenaga profesional, tetapi seringkali karena berbeda ideologi politik
dengan pimpinannya ditempatkan pada tempat atau posisi yang tidak semestinya (the right man in the wrong place).
Dalam hal tertentu, tenaga profesional ini juga seringkali tidak dapat
didayagunakan secara optimal karena alasan kepangkatan posisi dan sebagainya.
Evaluasi program kepegawaian sangat jarang dilakukan dan
walaupun ada hasilnya, biasanya sangat diragukan obyektivitasnya, karena selain
bernuansa ‘asal bapak senang’ juga dilakukan hanya untuk memenuhi formalitas
belaka. Masih kaburnya
kode etik bagi aparat birokrasi publik (code of conduct), sehingga tidak
mampu menciptakan adanya budaya birokrasi yang sehat, seperti kerja keras,
keinginan untuk berprestasi, kejujuran,
rasa tanggung jawab, bersih dan bebas dari KKN, dan sebagainya.
Oleh sebab itu, pembangunan ke depan harus diletakkan dalam bingkai
penguatan politik birokrasi yang terarah pada reformasi birokrasi. Birokrasi
harus dibangun dalam konteks pembangunan, sebab birokrasi harus bisa menjadi instrumen
pembangunan yang andal dimasa yang akan datang.
C.
Pendekatan Post Behavioralisme
Post
Behavioralisme muncul pada era pertengahan 1960-an, sebagai bentuk penolakan
sebagian ilmuwan politik terhadap Behavioralisme. Pendekatan ini diprakarsai
oleh sekelompok teoritisi muda, yang didukung oleh salah seorang ilmuwan
politik senior, yaitu : David Easton. Post Behavioralisme muncul juga
dipengaruhi oleh perang Vietnam, kemajuan teknologi di bidang persenjataan,
deskriminasi ras yang melahirkan gejolak sosial. Post Behavioralisme sebagai
gerakan protes dipengaruhi oleh tulisan : Herbert Marcuse, C. Wright Mills,
Jean Paul Sartre.
Post Behavioralisme berpendapat, semakin ilmiah ilmu
politik, justru ia akan semakin kehilangan relevansinya. Penekanan pentingnya
empirisme, mendasarkan semua statemen kepada hasil observasi,
mengkuantifikasikan semua kasus, akan menjebak behavioralisme mengkaji masalah
masalah yang bersifat trivial. Topik topik yang sangat penting seperti penyebab
perang, hanya memperoleh sedikit perhatian, sementara itu persoalan persoalan
yang sebenarnya lebih mudah (seperti voting behaviour) ternyata malah
memperoleh perhatian yang sangat berlebihan.
Penerapan
di Indonesia, dapat diambil salah-satu segi pada supremasi hukumnya,
Sistem
Hukum,
Menjadi bagian yang tidak terpisahkan
disetiap penyelenggaraan negara. Hukum merupakan faktor penting dalam penegakan
good governance. Kelemahan sistem hukum akan berpengaruh besar terhadap kinerja
pemerintahan secara keseluruhan., pemerintahan yang baik tidak akan berjalan
dengan semestinya, apabila di atas sistem hukum yang lemah. Oleh karena itu
penguatan sistim hukum atau reformasi hukum merupakan kebutuhan mutlak bagi
terwujudnya pemerintahan yang bersih dan
baik
Sebagai contoh, mencari
orang yang jujur dan memilik integritas tinggi sama halnya dengan mencari jarum
dalam tumpukan jerami. Memilih aparatur atau pelaku pemerintahan yang unggul
akan berpengaruh baik dengan penyelenggaraan negara. Dengan berpedoman pada
hukum, maka diharapkan masyarakat maupun pejabat, baik yang duduk di
pemerintahan (eksekutif),seperti presiden, gubernur, bupati/walikota, camat
maupun lurah, begitu juga di lembaga legislatif (dpr, mpr dan dpd, dprd) dan
lembaga yudikatif (Mahkamah agung, mahkamah konstitusi dan komisi yudisial)
serta pihak birokrasi (pegawai negeri sipil, tentara dan kepolisian) tidak akan
melakukan tindak pidana korupsi dan peran penegakan hukum yang tentunya harus
berani mengambil sikap dalam menegakkan hukum, diatas segala-galanya.
Akan tetapi yang
terjadi, justru korupsi yang masih tetap eksis sampai saat ini, sehingga ini
merupakan salah satu faktor yang mempersulit dicapainya good governance dan
clean government, dalam pemberantasan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang menjadi
momok/ agenda wajib yang tidak pernah lelah untuk dilakukan. Inilah satu hal
yang tidak boleh dilewatkan untuk mencapai pemerintahan yang baik.
Mencegah (preventif)
dan menanggulangi (represif) adalah dua upaya yang dilakukan. Pencegahan
dilakukan dengan memberi jaminan hukum bagi perwujudan pemerintahan terbuka
(open government). Jaminan kepada hak publik seperti hak mengamati perilaku
pejabat, hak memperoleh akses informasi, hak berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan dan hak mengajukan keberatan bila ketiga hak di atas tidak dipenuhi
secara memadai. Jaminan yang diberikan jika memang benar-benar bisa
disosialisasikan dengan baik kepada masyarakat
prinsip apa yg dianut oleh indonesia
BalasHapus