Sabtu, 31 Desember 2016

Sejarah dan Dinamika Lembaga Eksekutif di Indonesia




 SEJARAH DAN DINAMIKA LEMBAGA EKSEKUTIF DI INDONESIA

Lembaga Eksekutif di Indonesia meliputi presiden dan wakil presiden beserta menteri-menteri yang membantunya. Presiden adalah lembaga negara yang memegang kekuasaan eksekutif yaitu mempunyai kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan. Di Indonesia, Presiden mempunyai kedudukan sebagai kepala pemerintahan dan sekaligus sebagai kepala negara. Presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan. Presiden dan wakil presiden sebelum menjalankan tugasnya bersumpah atau mengucapkan janji dan dilantik oleh ketua MPR dalam sidang MPR. Setelah dilantik, presiden dan wakil presiden menjalankan pemerintahan sesuai dengan program yang telah ditetapkan sendiri. Dalam menjalankan pemerintahan, presiden dan wakil presiden tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Presiden dan wakil presiden menjalankan pemerintahan sesuai dengan tujuan negara yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Presiden dan Wakil Presiden Indonesia (secara bersama-sama disebut lembaga kepresidenan Indonesia) memiliki sejarah yang hampir sama tuanya dengan sejarah Indonesia. Dikatakan hampir sama sebab pada saat proklamasi 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia belum memiliki pemerintahan. Barulah sehari kemudian, 18 Agustus 1945, Indonesia memiliki konstitusi yang menjadi dasar untuk mengatur pemerintahan (UUD 1945)dan lembaga kepresidenan yang memimpin seluruh bangsa. Dari titik inilah perjalanan lembaga kepresidenan yang bersejarah dimulai.
Sejarah perjalanan lembaga kepresidenan Indonesia memiliki keunikan tersendiri, sebagaimana tiap-tiap bangsa memiliki ciri khas pada sejarah pemimpin mereka masing-masing. Perjalanan sejarah yang dilalui lembaga kepresidenan diwarnai setidaknya tiga atau bahkan empat konstitusi. Selain itu ini boleh dikatakan “hanya” diatur dalam konstitusi. Peraturan di bawah konstitusi hanya mengatur sebagian kecil dan itupun letaknya tersebar dalam berbagai jenis maupun tingkatan peraturan. Ini berbeda dengan lembaga legislatif dan lembaga yudikatif yang memiliki undang-undang mengenai susunan dan kedudukan lembaga itu sendiri. Lain daripada itu masalah tokoh dan periodisasi juga memerlukan pencermatan lebih lanjut.
Oleh sebab lembaga kepresidenan sebagian besar diatur dalam konstitusi, maka pembahasan sejarah lembaga ini akan difokuskan menurut pengaturan dalam konstitusi dan akan dibagi menurut masa berlakunya masing-masing konstitusi. Pembagian inipun tidak sepenuhnya lepas dari kesulitan di setidaknya dua kurun waktu. Pertama, periode antara tahun 19491950 ketika ada dua konstitusi yang berlaku secara bersamaan. Kedua, antara 19992002 ketika konstitusi mengalami pembongkaran ulang. Selain itu, karena dinamika yang masih terus berlangsung, maka pembahasan artikel hanya akan dibatasi sampai tahun 2008 atau setidak-tidaknya pertengahan 2009.

Periode 1945–1950
Dr. Ir. Soekarno, Presiden Indonesia 1945-1949 dan 1950-1967; Presiden RIS 1949-1950
Periode 18 Agustus 194515 Agustus 1950 adalah periode berlakunya konstitusi yang disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, yang kelak kemudian disebut sebagai UUD 1945. Periode ini dibagi lagi menjadi dua masa yaitu, pertama, antara 18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949 saat negara Indonesia berdiri sendiri, dan kedua antara 27 Desember 1949 – 15 Agustus 1950 saat negara Indonesia bergabung sebagai negara bagian dari negara federasi Republik Indonesia Serikat.
Menurut UUD 1945, lembaga kepresidenan, yang bersifat personal, terdiri atas seorang presiden dan seorang wakil presiden. Lembaga ini dipilih oleh MPR dengan syarat tertentu dan memiliki masa jabatan selama 5 tahun. Sebelum menjalankan tugasnya lembaga ini bersumpah di hadapan MPR atau DPR.
Pada 18 Agustus 1945, untuk pertama kalinya, presiden dan wakil presiden dipilih oleh PPKI. Dalam masa peralihan ini kekuasaan presiden sangat besar karena seluruh kekuasaan MPR, DPR, dan DPA, sebelum lembaga itu terbentuk, dijalankan oleh presiden dengan bantuan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Namun tugas berat juga dibebankan kepada presiden untuk mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang ditetapkan UUD 1945.
Hanya beberapa bulan pemerintahan, KNIP yang menjadi pembantu presiden dalam menjalankan kekuasaan MPR, DPR, dan DPA meminta kekuasaan yang lebih. Hal itu kemudian direspon oleh lembaga kepresidenan dengan memberikan kekuasaan untuk menetapkan haluan negara dan membentuk UU melalui Maklumat Wakil Presiden Nomor X yang dikeluarkan pada 16 Oktober 1945. Kurang dari sebulan, kekuasaan presiden berkurang dengan terbentuknya Kabinet Syahrir I yang tidak lagi bertanggung jawab kepadanya melainkan kepada Badan Pekerja KNIP. Pada tahun-tahun berikutnya ketika keadaan darurat, 29 Juni 19462 Oktober 1946, dan 27 Juni 19473 Juli 1947, presiden mengambil alih kekuasaan lagi. Begitu pula antara 29 Januari 194827 Desember 1949 kabinet kembali bersifat presidensial (bertanggung jawab kepada presiden).
Saat pemerintahan, termasuk di dalamnya lembaga kepresidenan, di Yogyakarta lumpuh dan tidak dapat menjalankan tugasnya saat Agresi Militer Belanda II. Sementara pada saat yang sama, atas dasar mandat darurat yang diberikan sesaat sebelum kejatuhan Yogyakarta, suatu Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang didirikan di pedalaman Sumatera (22 Desember 1948 – 13 Juli 1949) mendapat legitimasi yang sah. Kondisi inilah yang menimbulkan pemerintahan dan juga lembaga kepresidenan ganda. Sebab pemerintahan darurat itupun memiliki pimpinan pemerintahan (atau lembaga kepresidenan) dengan sebutan Ketua Pemerintahan Darurat. Hal inilah yang sering menimbulkan kontroversi dan polemik berkepanjangan mengenai status pemerintah darurat dan status ketua pemerintah darurat.
Bagi sebagian pihak, PDRI dan juga Ketua Pemerintahan Darurat adalah penerima tongkat estafet pemerintahan dan kepemimpinan nasional saat pemerintahan di ibukota tertawan musuh. Oleh karena itu kedudukannya tidak bisa diabaikan. Apalagi pada 13 Juli 1949, Ketua Pemerintah Darurat Syafruddin Prawiranegara secara resmi menyerahkan kembali mandat kepada Wakil Presiden Mohammad Hatta yang pulang dari tawanan musuh. Namun bagi pihak lain, tidak mundurnya presiden dan wakil presiden secara resmi menunjukkan tongkat estafet pemerintahan dan kepemmpinan nasional tetap dipegang oleh Soekarno dan Mohammad Hatta yang tertawan. Apalagi perundingan-perundingan, seperti Perjanjian Roem-Royen, dilakukan dengan pemerintahan dan lembaga kepresidenan tertawan bukan dengan pemerintah darurat.

Periode 1949–1950
Negara Federasi Republik Indonesia Serikat 1949-1950
Pada periode 27 Desember 1949 – 15 Agustus 1950, RI bergabung dalam negara federasi Republik Indonesia Serikat dengan kedudukan sebagai negara bagian. Hal ini mengakibatkan berlakunya 2 konstitusi secara bersamaan di wilayah negara bagian RI, yaitu Konstitusi RIS dan UUD 1945. Pada 27 Desember 1949, Presiden RI Soekarno telah menyerahkan secara resmi kekuasaan pemerintahan RI kepada Assaat sebagai Pemangku Jabatan Presiden.
Menurut Konstitusi RIS, lembaga kepresidenan yang bersifat personal terdiri atas seorang presiden. Presiden dipilih oleh Dewan Pemilih (Electoral College) yang terdiri atas utusan negara-negara bagian dengan syarat-syarat tertentu. Sebelum menjalankan tugasnya, presiden bersumpah dihadapan Dewan Pemilih. Berbeda dengan UUD 1945, Konstitusi RIS mengatur kedudukan dan kekuasaan, tugas dan kewenangan, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan secara lebih rinci. Selain itu dalam sistematika Konstitusi RIS, hal-hal yang mengatur tentang lembaga kepresidenan tidak terletak dalam satu bab khusus melainkan tersebar di berbagai pasal. Lembaga kepresidenan dalam periode ini hanya berumur sangat pendek. RI dan RIS mencapai kesepakatan pada 19 Mei 1950 untuk kembali ke bentuk negara kesatuan. Pada 15 Agustus 1950, di hadapan sidang DPR dan Senat, diproklamasikan berdirinya negara kesatuan Republik Indonesia menggantikan negara federasi Republik Indonesia Serikat. Konstitusi RIS diubah menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (yang selanjutnya dikenal sebagai UUDS 1950) berdasarkan UU RIS No. 7 Tahun 1950. Pada hari itu juga, Pemangku Jabatan Presiden RI, Assaat, menyerahkan secara resmi kekuasaan pemerintahan RI kepada Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia.

Periode 1950–1959
Drs. Moh Hatta, Wakil Presiden Indonesia 1945-1949 dan 1950-1956
Masa republik ketiga adalah periode diberlakukannya UUDS 1950 yang kelak kemudian disebut dengan UUDS 1950. UUDS 1950 ini sebenarnya merupakan perubahan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia Serikat (konstitusi federal - UUDS RIS). Dari segi materi, UUDS 1950 ini merupakan perpaduan antara UUDS RIS milik negara federasi Republik Indonesia Serikat dengan UUD 1945 yang disahkan oleh PPKI milik Republik Indonesia, sebagai hasil persetujuan RIS dan RI tanggal 19 Mei 1950. Secara tepatnya periode ini berlangsung antara 15 Agustus 19505 Juli 1959.
Menurut UUDS 1950, lembaga kepresidenan yang bersifat personal terdiri atas seorang presiden dan seorang wakil presiden [Pasal 44, 45, 46 (1), 47, dan 48]. Presiden dan wakil presiden dipilih menurut UU dengan syarat tertentu [pasal 45 (3) dan (5)]. Tidak ada masa jabatan yang jelas bagi lembaga ini, namun dari sifat konstitusi sementara [pasal 134 dan penjelasan konstitusi], jabatan ini dipertahankan hingga ada lembaga baru menurut konstitusi tetap yang disusun oleh Konstituante. Sebelum menjalankan tugasnya presiden dan wakil presiden bersumpah dihadapan DPR [pasal 47]. Sama seperti UUDS RIS, UUDS 1950 mengatur kedudukan dan kekuasaan, tugas dan kewenangan, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan secara lebih rinci. Dalam sistematika konstitusi sementara hal-hal yang mengatur tentang lembaga kepresidenan tidak terletak dalam satu bab khusus melainkan tersebar di berbagai pasal dalam konstitusi.
Selain bertindak secara khusus, sebagai bagian dari pemerintahan dalam fungsi administratif/protokoler, presiden (dan wakil presiden).
Lembaga kepresidenan dalam masa republik ketiga tergolong unik. Tokoh yang memangku jabatan presiden pada periode ini merupakan hasil persetujuan dari RIS dan RI pada 19 Mei 1950 [penjelasan konstitusi]. Sedangkan tokoh wakil presiden untuk pertama kalinya diangkat oleh presiden dari tokoh yang diajukan oleh DPR [pasal 45 (4)]. Dari hal-hal tersebut jelas bahwa lembaga kepresidenan (presiden dan wakil presiden) hanya bersifat sementara seiring pemberlakuan konstitusi sementara dan akan berakhir dengan lembaga kepresidenan menurut konstitusi tetap yang akan dibuat.
Dalam perjalanannya jabatan wakil presiden mengalami kekosongan per 1 Desember 1956 karena wakil presiden mengundurkan diri. Aturan pasal 45 (4) tidak lagi dapat digunakan untuk mengisi lowongan tersebut sedangkan konstitusi tetap maupun UU pemilihan presiden dan wakil presiden belum ada. Pada 1958 presiden sempat berhalangan dan digantikan oleh pejabat presiden. Kekuasaan lembaga kepresidenan ini otomatis berakhir seiring munculnya dekrit presiden 5 Juli 1959 dan digantikan dengan lembaga kepresidenan menurut UUD 1945 yang diberlakukan kembali.

Periode 1959–1999
Jend Besar TNI Purn. H. M. Soeharto, Pejabat Presiden Indonesia 1967-1968 dan Presiden Indonesia 1968-1998
Masa republik keempat adalah periode diberlakukannya kembali UUD 1945. Secara tepatnya periode ini berlangsung antara 5 Juli 195919 Oktober 1999. Dengan diberlakukannya kembali konstitusi ini maka semua kekuasaan, susunan dan kedudukan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan praktis sama dengan periode republik I. Untuk melihat secara detilnya dipersilakan melihat kembali masa republik I.
Ada beberapa hal yang menarik dari segi peraturan perundang-undangan dalam periode ini. Menurut dekrit presiden yang memberlakukan kembali konstitusi dari republik I, bagian penjelasan konstitusi mendapat kekuatan hukum yang mengikat karena diterbitkan dalam lembaran negara. Dengan demikian lembaga kepresidenan tidak hanya diatur dalam pasal-pasal konstitusi namun juga dalam penjelasan konstitusi. Dengan hadirnya lembaga MPR/MPRS dalam ketatanegaraan republik IV mengundang konsekuensi dengan lahirnya konstitusi semu yang disebut Ketetapan MPR/MPRS.

Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie, Wakil Presiden Indonesia 1998 dan Presiden Indonesia 1998-1999
Dengan landasan hukum tersebut lembaga kepresidenan, terutama presiden, menjadi lembaga tertinggi bila dibandingkan dengan lembaga tinggi lainnya. Ada beberapa hal unik dan menarik untuk dicermati pada periode ini. Hal-hal tersebut antara lain, pertama, setelah MPRS terbentuk lembaga ini tidak langsung bersidang untuk menetapkan tokoh yang memangku jabatan dalam lembaga kepresidenan yang baru. Kedua, pada tahun 1963 MPRS menetapkan ketetapan MPRS yang mengangkat presiden petahana sebagai presiden seumur hidup. Ketiga, munculnya jabatan “Pejabat Presiden” ketika Presiden dimakzulkan pada tahun 1967. Keempat, penetapan “Pejabat Presiden” menjadi Presiden pada tahun 1968. Kelima, pengisian lembaga kepresidenan sesuai dengan UUD 1945 baru dilakukan pada tahun 1973, tiga belas tahun setelah MPR (MPRS) terbentuk. Keenam, pengucapan sumpah pelantikan presiden oleh wakil presiden tidak dilakukan di depan MPR atau DPR melainkan hanya di depan pimpinan MPR/DPR dan Mahkamah Agung saat presiden mundur dari jabatannya pada tahun 1998. Sebenarnya masih banyak hal lain yang menarik namun mengingat keterbatasan tempat maka hanya enam hal di atas yang dikemukakan.
Gelombang people power yang dikenal dengan “gerakan reformasi 1998” yang muncul pada tahun 1998 akhirnya juga mengakibatkan sistem ketatanegaraan berubah secara cepat. Presiden tidak lagi memiliki kekuasaan penuh dengan dicabutnya Ketetapan MPR No. V/MPR/1998 dengan Ketetapan MPR No. XII/MPR/1998[7]. Dan periode republik IV yang telah berusia empat puluh tahun ini pun berakhir sekitar satu setahun dari munculnya gelombang people power.

Periode 1999–2002
K. H. Abdurrahman Wahid, Presiden Indonesia 1999-2001
Masa republik kelima adalah periode transisi ketatanegaraan akibat proses perubahan konstitusi UUD 1945 secara fundamental. Secara tepatnya periode ini berlangsung antara 19 Oktober 199910 Agustus 2002. Periode ini muncul sebagai akibat dari gelombang people power yang dikenal dengan reformasi 1998. Oleh karena perubahan kekuasaan, susunan dan kedudukan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan dilakukan secara bertahap maka pembahasan periode ini dilakukan menurut tahapan perubahan konstitusi.
Beberapa hal yang menjadi catatan dalam periode republik V ini, antara lain, adalah, pertama, untuk pertama kalinya presiden dipilih oleh MPR dari calon yang berjumlah lebih dari satu orang. Kedua, presiden membekukan parlemen dan berakibat dimakzulkannya presiden. Ketiga, presiden wajib menyampaikan laporan tahunan penyelenggaraan pemerintahan kepada MPR. Sebenarnya periode transisi ini tidak berakhir pada tahun 2002 melainkan pada tahun 2004. Namun karena acuannya adalah konstitusi maka periode ini dicukupkan pada tahun 2002. Periode transisi selanjutnya dibahas pada bagian republik VI.
Sejak 2002
Dr(HC), Hj. Diah Permata Megawati Setyawati Sukarnoputri, Wakil Presiden Indonesia 1999-2001 dan Presiden Indonesia 2001-2004
Masa republik keenam adalah periode diberlakukannya UUD 1945 setelah mengalami proses perubahan ketatanegaraan yang fundamental yang tetap dinamakan UUD 1945. Secara tepatnya periode ini dihitung mulai 10 Agustus 2002 sampai terjadinya perubahan yang fundamental terhadap konstitusi.
Dengan perubahan I-IV konstitusi selama masa republik V maka terjadi perubahan yang sangat fundamental dari segi ketatanegaraan. Dan dapat dikatakan lembaga-lembaga negara, termasuk lembaga kepresidenan, mendapatkan kekuasaan, susunan dan kedudukan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban yang baru menurut “konstitusi yang baru”.
Periode transisi masih mewarnai masa republik VI ini, setidaknya antara tahun 20022004. Berbagai peraturan konstitusi semu, yang bernama Ketetapan MPR, yang mengatur lembaga kepresidenan, secara bertahap dinyatakan tidak berlaku oleh lembaga pembuatnya sendiri, yaitu MPR, sampai terbentuknya pemerintahan hasil pemilu 2004. Selain itu aturan peralihan pasal I dan II juga berlaku selama masa transisi ini. Dalam masa transisi ini pula dibuat peraturan UU yang mengatur pemilihan lembaga kepresidenan secara langsung. Mulai tahun 2004, kekuasaan, susunan dan kedudukan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan diatur melalui UUD 1945, Undang-Undang, PP, maupun Perpres. Namun, berbeda dengan lembaga negara lain yang diatur secara terkonsentrasi dalam sebuah peraturan perundang-undangan (UU, PP, dan Perpres), peraturan mengenai lembaga kepresidenan tidak terdapat dalam satu UU melainkan tersebar dalam berbagai UU, PP, maupun Perpres. Sebagai catatan akhir, pada tahun 2004, pertama kalinya dalam sejarah, diadakan pemilihan lembaga kepresidenan secara langsung oleh rakyat.

Abdurrahman Wahid
Abdurrahman Wahid adalah Presiden ke-4 Indonesia. Masa jabatannya dimulai pada tanggal 19 Oktober 1999. Gus Dur adalah presiden terakhir yang dipilih oleh MPR. Ia diangkat oleh MPR sebagai presiden dengan Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/1999 tentang Pengangkatan Presiden Republik Indonesia. Ia mengalahkan rivalnya Megawati Soekarnoputri dalam sebuah pemilihan yang dilakukan oleh MPR. Namun MPR memilih rivalnya dalam pemilihan tersebut, Megawati, sebagai wakil presiden yang mendampinginya. Megawati diangkat oleh MPR sebagai wakil presiden dengan Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/1999 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia. Karena satu dan lain hal mengenai keterbatasan seperti yang sudah dimaklumi, Gus Dur menyerahkan pelaksanaan tugas teknis pemerintahan sehari-hari pada wakil presiden. Penugasan ini ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor 121 Tahun 2000 tentang Penugasan Presiden kepada Wakil Presiden untuk Melaksanakan Tugas Teknis Pemerintahan Sehari-hari Presiden Republik Indonesia. Pendulum kekuasaan yang beralih dari eksekutif ke legislatif mengakibatkan lembaga kepresidenan sepenuhnya tunduk pada parlemen. Hal ini dibuktikan sendiri olehnya. Dua kali setelah menghadapi memorandum dari DPR, Gus Dur dihadapkan pada suatu pemakzulan. Langkahnya yang mengeluarkan maklumat pembekuan DPR dalam dekrit tidak membuahkan hasil. MPR yang tengah menggelar Sidang Istimewa langsung menolak dekrit itu dengan Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2001 tentang Sikap Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia terhadap Maklumat Presiden Republik Indonesia Tanggal 23 Juli 2001. Maklumat tersebut juga mengantarkan lebih cepat pada pemakzulannya oleh MPR pada saat itu juga. Abdurrahman Wahid menjadi presiden kedua yang dimakzulkan oleh MPR di tengah masa jabatannya, berdasarkan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia K.H. Abdurrahman Wahid.

Megawati Soekarnoputri
Megawati Soekarnoputri adalah Presiden ke-5 Indonesia. Jabatan pertamanya dimulai 23 Juli 2001. Megawati menggantikan Gus Dur karena posisinya sebagai wakil presiden. Ia adalah wakil presiden kedua yang menggantikan presiden ketika berhenti dalam masa jabatannya. Megawati diangkat oleh MPR sebagai presiden dengan Ketetapan R Nomor III/MPR/2001 tentang Penetapan Wakil Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri Sebagai Presiden Republik Indonesia. Masa jabatannya kurang dari 5 tahun sebab ia hanya mewarisi masa jabatan Gus Dur. Presiden perempuan pertama Indonesia ini didampingi oleh Wakil Presiden Hamzah Haz yang memenangkan pemilihan wakil presiden oleh MPR dari rivalnya Susilo Bambang Yudhoyono. Hamzah oleh MPR diangkat sebagai wakil presiden dengan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/ 2001 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia. Catatan dalam masa jabatannya adalah Pemilu Legislatif pada April 2004 serta Pemilu Presiden pada Juli 2004. Pada Pemilu Presiden 2004, Megawati harus mengakui keunggulan SBY setelah melalui dua putaran pemilihan. Ia mengakhiri masa jabatan pertamanya pada 20 Oktober 2004, sehari lebih lama dari sisa masa jabatan Gus Dur yang dilimpahkan kepadanya.
Susilo Bambang Yudhoyono
Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Indonesia 2004–2009 dan 2009–2014
Susilo Bambang Yudhoyono adalah Presiden ke-6 Indonesia. Jabatan pertamanya dimulai pada 20 Oktober 2004. Ia bersama pasangannya Muhammad Jusuf Kalla memenangi Pemilu Presiden 2004 yang merupakan pemilihan presiden secara langsung yang pertama kali. Setelah mengakhiri masa jabatannya yang pertama, SBY kembali mengucapkan sumpah jabatan presiden untuk kedua kalinya di hadapan sidang MPR pada 20 Oktober 2009. Kali ini ia didampingi oleh Boediono sebagai wakil presiden.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar