SEJARAH DAN DINAMIKA LEMBAGA EKSEKUTIF DI INDONESIA
Lembaga Eksekutif di
Indonesia meliputi presiden dan wakil presiden beserta menteri-menteri yang
membantunya. Presiden
adalah lembaga negara yang memegang kekuasaan eksekutif yaitu mempunyai
kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan. Di Indonesia, Presiden mempunyai
kedudukan sebagai kepala pemerintahan dan sekaligus sebagai kepala negara.
Presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya
dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan. Presiden dan wakil
presiden sebelum menjalankan tugasnya bersumpah atau mengucapkan janji dan
dilantik oleh ketua MPR dalam sidang MPR. Setelah dilantik, presiden dan wakil
presiden menjalankan pemerintahan sesuai dengan program yang telah ditetapkan
sendiri. Dalam menjalankan pemerintahan, presiden dan wakil presiden tidak
boleh bertentangan dengan UUD 1945. Presiden dan
wakil presiden menjalankan pemerintahan sesuai dengan
tujuan negara yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Presiden
dan Wakil
Presiden Indonesia
(secara bersama-sama disebut lembaga kepresidenan Indonesia) memiliki
sejarah yang hampir sama tuanya dengan sejarah Indonesia.
Dikatakan hampir sama sebab pada saat proklamasi 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia belum memiliki
pemerintahan. Barulah sehari kemudian, 18 Agustus 1945, Indonesia memiliki konstitusi
yang menjadi dasar untuk mengatur pemerintahan (UUD 1945)dan
lembaga kepresidenan yang memimpin seluruh bangsa. Dari titik inilah perjalanan
lembaga kepresidenan yang bersejarah dimulai.
Sejarah perjalanan lembaga
kepresidenan Indonesia memiliki keunikan tersendiri, sebagaimana tiap-tiap
bangsa memiliki ciri khas pada sejarah pemimpin mereka masing-masing.
Perjalanan sejarah yang dilalui lembaga kepresidenan diwarnai setidaknya tiga
atau bahkan empat konstitusi. Selain itu ini boleh dikatakan “hanya” diatur
dalam konstitusi. Peraturan di bawah konstitusi hanya
mengatur sebagian kecil dan itupun letaknya tersebar dalam berbagai jenis
maupun tingkatan peraturan. Ini berbeda dengan lembaga legislatif dan
lembaga yudikatif
yang memiliki undang-undang mengenai susunan dan kedudukan lembaga itu sendiri.
Lain daripada itu masalah tokoh dan periodisasi juga memerlukan pencermatan
lebih lanjut.
Oleh sebab lembaga kepresidenan sebagian
besar diatur dalam konstitusi, maka pembahasan sejarah lembaga ini akan
difokuskan menurut pengaturan dalam konstitusi dan akan dibagi menurut masa
berlakunya masing-masing konstitusi. Pembagian inipun tidak sepenuhnya lepas
dari kesulitan di setidaknya dua kurun waktu. Pertama, periode antara tahun 1949–1950 ketika ada dua konstitusi yang berlaku
secara bersamaan. Kedua, antara 1999–2002 ketika konstitusi mengalami pembongkaran
ulang. Selain itu, karena dinamika yang masih terus berlangsung, maka
pembahasan artikel hanya akan dibatasi sampai tahun 2008 atau setidak-tidaknya pertengahan 2009.
Periode
1945–1950
Dr.
Ir. Soekarno, Presiden Indonesia 1945-1949 dan 1950-1967; Presiden RIS
1949-1950
Periode 18 Agustus 1945 – 15 Agustus 1950 adalah periode berlakunya konstitusi yang
disahkan oleh PPKI
pada tanggal 18 Agustus 1945, yang kelak kemudian disebut sebagai UUD 1945.
Periode ini dibagi lagi menjadi dua masa yaitu, pertama, antara 18 Agustus 1945
– 27 Desember 1949 saat negara Indonesia berdiri sendiri, dan
kedua antara 27 Desember 1949 – 15 Agustus 1950 saat negara Indonesia bergabung
sebagai negara bagian dari negara federasi Republik
Indonesia Serikat.
Menurut UUD 1945, lembaga
kepresidenan, yang bersifat personal, terdiri atas seorang presiden dan seorang
wakil presiden. Lembaga ini dipilih oleh MPR dengan syarat tertentu dan memiliki masa
jabatan selama 5 tahun. Sebelum menjalankan tugasnya lembaga ini bersumpah di
hadapan MPR atau DPR.
Pada 18 Agustus 1945, untuk
pertama kalinya, presiden dan wakil presiden dipilih oleh PPKI. Dalam masa
peralihan ini kekuasaan presiden sangat besar karena seluruh kekuasaan MPR,
DPR, dan DPA, sebelum lembaga itu terbentuk, dijalankan oleh presiden dengan
bantuan Komite Nasional Indonesia Pusat
(KNIP). Namun tugas berat juga dibebankan kepada presiden untuk mengatur dan
menyelenggarakan segala hal yang ditetapkan UUD 1945.
Hanya beberapa bulan
pemerintahan, KNIP yang menjadi pembantu presiden dalam menjalankan kekuasaan
MPR, DPR, dan DPA meminta kekuasaan yang lebih. Hal itu kemudian direspon oleh
lembaga kepresidenan dengan memberikan kekuasaan untuk menetapkan haluan negara
dan membentuk UU melalui Maklumat Wakil Presiden Nomor X
yang dikeluarkan pada 16 Oktober 1945. Kurang dari sebulan, kekuasaan presiden
berkurang dengan terbentuknya Kabinet Syahrir I
yang tidak lagi bertanggung jawab kepadanya melainkan kepada Badan Pekerja
KNIP. Pada tahun-tahun berikutnya ketika keadaan darurat, 29 Juni 1946 – 2 Oktober 1946, dan 27 Juni 1947 – 3 Juli 1947, presiden mengambil alih kekuasaan lagi.
Begitu pula antara 29 Januari 1948 – 27 Desember 1949 kabinet kembali bersifat presidensial
(bertanggung jawab kepada presiden).
Saat pemerintahan, termasuk
di dalamnya lembaga kepresidenan, di Yogyakarta
lumpuh dan tidak dapat menjalankan tugasnya saat Agresi
Militer Belanda II. Sementara pada saat yang sama, atas dasar
mandat darurat yang diberikan sesaat sebelum kejatuhan Yogyakarta, suatu Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI)
yang didirikan di pedalaman Sumatera
(22 Desember 1948 – 13 Juli 1949) mendapat legitimasi yang sah. Kondisi inilah
yang menimbulkan pemerintahan dan juga lembaga kepresidenan ganda. Sebab
pemerintahan darurat itupun memiliki pimpinan pemerintahan (atau lembaga
kepresidenan) dengan sebutan Ketua Pemerintahan Darurat. Hal inilah yang sering
menimbulkan kontroversi dan polemik berkepanjangan mengenai status pemerintah
darurat dan status ketua pemerintah darurat.
Bagi sebagian pihak, PDRI
dan juga Ketua Pemerintahan Darurat adalah penerima tongkat estafet
pemerintahan dan kepemimpinan nasional saat pemerintahan di ibukota tertawan
musuh. Oleh karena itu kedudukannya tidak bisa diabaikan. Apalagi pada 13 Juli 1949, Ketua Pemerintah Darurat Syafruddin
Prawiranegara secara resmi menyerahkan kembali mandat
kepada Wakil Presiden Mohammad Hatta
yang pulang dari tawanan musuh. Namun bagi pihak lain, tidak mundurnya presiden
dan wakil presiden secara resmi menunjukkan tongkat estafet pemerintahan dan
kepemmpinan nasional tetap dipegang oleh Soekarno
dan Mohammad Hatta yang tertawan. Apalagi perundingan-perundingan, seperti Perjanjian
Roem-Royen, dilakukan dengan pemerintahan dan lembaga kepresidenan
tertawan bukan dengan pemerintah darurat.
Periode
1949–1950
Negara
Federasi Republik Indonesia Serikat 1949-1950
Pada periode 27 Desember 1949 – 15 Agustus
1950, RI bergabung dalam negara federasi Republik
Indonesia Serikat dengan kedudukan sebagai negara bagian.
Hal ini mengakibatkan berlakunya 2 konstitusi secara bersamaan di wilayah
negara bagian RI, yaitu Konstitusi RIS dan UUD 1945. Pada 27
Desember 1949, Presiden RI Soekarno telah menyerahkan secara resmi kekuasaan
pemerintahan RI kepada Assaat
sebagai Pemangku Jabatan Presiden.
Menurut Konstitusi RIS,
lembaga kepresidenan yang bersifat personal terdiri atas seorang presiden.
Presiden dipilih oleh Dewan Pemilih (Electoral College) yang terdiri
atas utusan negara-negara bagian dengan syarat-syarat tertentu. Sebelum
menjalankan tugasnya, presiden bersumpah dihadapan Dewan Pemilih. Berbeda dengan
UUD 1945, Konstitusi RIS mengatur kedudukan dan kekuasaan, tugas dan
kewenangan, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan secara lebih rinci.
Selain itu dalam sistematika Konstitusi RIS, hal-hal yang mengatur tentang
lembaga kepresidenan tidak terletak dalam satu bab khusus melainkan tersebar di
berbagai pasal. Lembaga kepresidenan dalam periode ini hanya berumur sangat
pendek. RI dan RIS mencapai kesepakatan pada 19 Mei 1950 untuk kembali ke bentuk negara kesatuan.
Pada 15 Agustus 1950, di hadapan sidang DPR dan Senat, diproklamasikan berdirinya negara kesatuan
Republik Indonesia menggantikan negara federasi Republik Indonesia Serikat.
Konstitusi RIS diubah menjadi Undang-Undang Dasar Sementara
Republik Indonesia (yang selanjutnya dikenal sebagai UUDS 1950)
berdasarkan UU RIS No. 7 Tahun 1950. Pada hari itu juga, Pemangku Jabatan
Presiden RI, Assaat, menyerahkan secara resmi kekuasaan pemerintahan RI kepada
Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia.
Periode
1950–1959
Drs.
Moh Hatta, Wakil Presiden Indonesia 1945-1949 dan 1950-1956
Masa republik ketiga adalah periode
diberlakukannya UUDS 1950 yang kelak kemudian disebut dengan UUDS 1950.
UUDS 1950 ini sebenarnya merupakan perubahan Undang-Undang Dasar Sementara
Republik Indonesia Serikat (konstitusi federal - UUDS RIS). Dari segi
materi, UUDS 1950 ini merupakan perpaduan antara UUDS RIS milik negara federasi
Republik
Indonesia Serikat dengan UUD 1945 yang disahkan oleh PPKI milik Republik
Indonesia, sebagai hasil persetujuan RIS dan RI tanggal 19 Mei 1950. Secara tepatnya periode ini berlangsung
antara 15 Agustus 1950 – 5 Juli 1959.
Menurut UUDS 1950, lembaga kepresidenan
yang bersifat personal terdiri atas seorang presiden
dan seorang
wakil presiden [Pasal 44, 45, 46 (1), 47, dan 48]. Presiden
dan wakil
presiden dipilih menurut UU dengan syarat tertentu [pasal 45 (3)
dan (5)]. Tidak ada masa jabatan yang jelas bagi lembaga ini, namun dari sifat
konstitusi sementara [pasal 134 dan penjelasan konstitusi], jabatan ini
dipertahankan hingga ada lembaga baru menurut konstitusi tetap yang disusun
oleh Konstituante. Sebelum
menjalankan tugasnya presiden
dan wakil presiden bersumpah dihadapan DPR [pasal 47]. Sama seperti UUDS RIS, UUDS 1950
mengatur kedudukan dan kekuasaan, tugas dan kewenangan, serta hak dan kewajiban
lembaga kepresidenan secara lebih rinci. Dalam sistematika konstitusi sementara
hal-hal yang mengatur tentang lembaga kepresidenan tidak terletak dalam satu
bab khusus melainkan tersebar di berbagai pasal dalam konstitusi.
Selain bertindak secara
khusus, sebagai bagian dari pemerintahan dalam fungsi administratif/protokoler,
presiden
(dan wakil presiden).
Lembaga kepresidenan
dalam masa republik ketiga tergolong unik. Tokoh yang memangku jabatan presiden
pada periode ini merupakan hasil persetujuan dari RIS dan RI pada 19 Mei 1950 [penjelasan konstitusi]. Sedangkan tokoh wakil presiden untuk pertama kalinya
diangkat oleh presiden dari tokoh yang diajukan oleh DPR [pasal 45 (4)]. Dari hal-hal tersebut jelas
bahwa lembaga
kepresidenan (presiden dan wakil presiden) hanya bersifat
sementara seiring pemberlakuan konstitusi sementara dan akan berakhir dengan
lembaga kepresidenan menurut konstitusi tetap yang akan dibuat.
Dalam perjalanannya jabatan
wakil presiden mengalami kekosongan per 1 Desember 1956 karena wakil presiden
mengundurkan diri. Aturan pasal 45 (4) tidak lagi dapat digunakan untuk mengisi
lowongan tersebut sedangkan konstitusi tetap maupun UU pemilihan presiden dan
wakil presiden belum ada. Pada 1958 presiden
sempat berhalangan dan digantikan oleh pejabat presiden. Kekuasaan lembaga
kepresidenan ini otomatis berakhir seiring munculnya dekrit presiden 5 Juli 1959 dan digantikan dengan lembaga kepresidenan
menurut UUD 1945 yang diberlakukan kembali.
Periode
1959–1999
Jend
Besar TNI Purn. H. M. Soeharto, Pejabat Presiden Indonesia 1967-1968 dan
Presiden Indonesia 1968-1998
Masa republik keempat adalah periode
diberlakukannya kembali UUD 1945. Secara tepatnya periode ini berlangsung
antara 5 Juli 1959 – 19 Oktober 1999. Dengan diberlakukannya kembali konstitusi
ini maka semua kekuasaan, susunan dan kedudukan, tugas dan wewenang, serta hak
dan kewajiban lembaga
kepresidenan praktis sama dengan periode republik I.
Untuk melihat secara detilnya dipersilakan melihat kembali masa republik I.
Ada beberapa hal yang
menarik dari segi peraturan perundang-undangan dalam periode ini. Menurut dekrit presiden
yang memberlakukan kembali konstitusi dari republik I, bagian penjelasan
konstitusi mendapat kekuatan hukum yang mengikat karena diterbitkan dalam
lembaran negara. Dengan demikian lembaga
kepresidenan tidak hanya diatur dalam pasal-pasal
konstitusi namun juga dalam penjelasan konstitusi. Dengan hadirnya lembaga MPR/MPRS dalam ketatanegaraan republik IV mengundang
konsekuensi dengan lahirnya konstitusi semu yang disebut Ketetapan MPR/MPRS.
Prof.
Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie, Wakil Presiden Indonesia 1998 dan Presiden
Indonesia 1998-1999
Dengan landasan hukum
tersebut lembaga
kepresidenan, terutama presiden,
menjadi lembaga tertinggi bila dibandingkan dengan lembaga tinggi lainnya. Ada
beberapa hal unik dan menarik untuk dicermati pada periode ini. Hal-hal
tersebut antara lain, pertama, setelah MPRS terbentuk lembaga ini tidak langsung
bersidang untuk menetapkan tokoh yang memangku jabatan dalam lembaga
kepresidenan yang baru. Kedua, pada tahun 1963 MPRS menetapkan ketetapan MPRS yang mengangkat presiden petahana
sebagai presiden seumur hidup. Ketiga, munculnya jabatan “Pejabat Presiden”
ketika Presiden
dimakzulkan pada tahun 1967.
Keempat, penetapan “Pejabat Presiden”
menjadi Presiden
pada tahun 1968.
Kelima, pengisian lembaga kepresidenan sesuai dengan UUD 1945 baru dilakukan
pada tahun 1973,
tiga belas tahun setelah MPR (MPRS) terbentuk. Keenam, pengucapan sumpah
pelantikan presiden oleh wakil
presiden tidak dilakukan di depan MPR atau DPR melainkan hanya di depan pimpinan MPR/DPR dan
Mahkamah
Agung saat presiden
mundur dari jabatannya pada tahun 1998. Sebenarnya masih banyak hal lain yang
menarik namun mengingat keterbatasan tempat maka hanya enam hal di atas yang
dikemukakan.
Gelombang people power yang dikenal dengan
“gerakan reformasi 1998” yang muncul pada tahun 1998 akhirnya juga mengakibatkan sistem
ketatanegaraan berubah secara cepat. Presiden
tidak lagi memiliki kekuasaan penuh dengan dicabutnya Ketetapan MPR No.
V/MPR/1998 dengan Ketetapan MPR No. XII/MPR/1998[7].
Dan periode republik IV yang telah berusia empat puluh tahun ini pun berakhir
sekitar satu setahun dari munculnya gelombang people power.
Periode
1999–2002
K.
H. Abdurrahman Wahid, Presiden Indonesia 1999-2001
Masa republik kelima adalah periode transisi
ketatanegaraan akibat proses perubahan konstitusi UUD 1945 secara fundamental.
Secara tepatnya periode ini berlangsung antara 19 Oktober 1999 – 10 Agustus 2002. Periode ini muncul sebagai akibat dari
gelombang people power yang dikenal dengan reformasi 1998. Oleh karena perubahan kekuasaan, susunan
dan kedudukan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga
kepresidenan dilakukan secara bertahap maka pembahasan
periode ini dilakukan menurut tahapan perubahan konstitusi.
Beberapa hal yang menjadi
catatan dalam periode republik V ini, antara lain, adalah, pertama, untuk
pertama kalinya presiden dipilih oleh MPR dari calon yang berjumlah lebih dari satu
orang. Kedua, presiden membekukan parlemen
dan berakibat dimakzulkannya
presiden. Ketiga, presiden
wajib menyampaikan laporan tahunan penyelenggaraan pemerintahan kepada MPR. Sebenarnya periode transisi ini tidak
berakhir pada tahun 2002
melainkan pada tahun 2004.
Namun karena acuannya adalah konstitusi maka periode ini dicukupkan pada tahun 2002. Periode transisi selanjutnya dibahas pada
bagian republik VI.
Sejak 2002
Dr(HC),
Hj. Diah Permata Megawati Setyawati Sukarnoputri, Wakil Presiden Indonesia
1999-2001 dan Presiden Indonesia 2001-2004
Masa republik keenam adalah periode
diberlakukannya UUD 1945 setelah mengalami proses perubahan ketatanegaraan yang
fundamental yang tetap dinamakan UUD 1945.
Secara tepatnya periode ini dihitung mulai 10 Agustus 2002 sampai terjadinya perubahan yang fundamental
terhadap konstitusi.
Dengan perubahan I-IV
konstitusi selama masa republik V maka terjadi perubahan yang sangat
fundamental dari segi ketatanegaraan. Dan dapat dikatakan lembaga-lembaga
negara, termasuk lembaga
kepresidenan, mendapatkan kekuasaan, susunan dan
kedudukan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban yang baru menurut
“konstitusi yang baru”.
Periode transisi masih
mewarnai masa republik VI ini, setidaknya antara tahun 2002 – 2004. Berbagai peraturan konstitusi semu, yang
bernama Ketetapan MPR, yang mengatur lembaga
kepresidenan, secara bertahap dinyatakan tidak berlaku oleh lembaga pembuatnya
sendiri, yaitu MPR, sampai terbentuknya
pemerintahan hasil pemilu 2004.
Selain itu aturan peralihan pasal I dan II juga berlaku selama masa transisi
ini. Dalam masa transisi ini pula dibuat peraturan UU yang mengatur pemilihan
lembaga kepresidenan secara langsung. Mulai tahun 2004, kekuasaan, susunan dan kedudukan, tugas dan
wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga
kepresidenan diatur melalui UUD 1945, Undang-Undang, PP, maupun Perpres.
Namun, berbeda dengan lembaga negara lain yang diatur secara terkonsentrasi
dalam sebuah peraturan perundang-undangan (UU, PP, dan Perpres), peraturan
mengenai lembaga kepresidenan tidak terdapat dalam satu UU melainkan tersebar
dalam berbagai UU, PP, maupun Perpres. Sebagai catatan akhir, pada tahun 2004, pertama kalinya dalam sejarah,
diadakan pemilihan lembaga
kepresidenan secara langsung oleh rakyat.
Abdurrahman Wahid
Abdurrahman Wahid
adalah Presiden ke-4 Indonesia. Masa jabatannya dimulai pada tanggal 19 Oktober 1999. Gus Dur adalah presiden terakhir yang
dipilih oleh MPR. Ia diangkat oleh MPR sebagai presiden dengan Ketetapan MPR
Nomor VII/MPR/1999 tentang Pengangkatan Presiden Republik Indonesia. Ia
mengalahkan rivalnya Megawati
Soekarnoputri dalam sebuah pemilihan yang dilakukan oleh
MPR. Namun MPR memilih rivalnya dalam pemilihan tersebut, Megawati, sebagai
wakil presiden yang mendampinginya. Megawati diangkat oleh MPR sebagai wakil
presiden dengan Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/1999 tentang Pengangkatan Wakil
Presiden Republik Indonesia. Karena satu dan lain hal mengenai keterbatasan
seperti yang sudah dimaklumi, Gus Dur menyerahkan pelaksanaan tugas teknis
pemerintahan sehari-hari pada wakil presiden. Penugasan ini ditetapkan dengan
Keputusan Presiden Nomor 121 Tahun 2000 tentang Penugasan Presiden kepada Wakil
Presiden untuk Melaksanakan Tugas Teknis Pemerintahan Sehari-hari Presiden
Republik Indonesia. Pendulum kekuasaan yang beralih dari eksekutif ke
legislatif mengakibatkan lembaga kepresidenan sepenuhnya tunduk pada parlemen.
Hal ini dibuktikan sendiri olehnya. Dua kali setelah menghadapi memorandum dari
DPR, Gus Dur dihadapkan pada suatu pemakzulan.
Langkahnya yang mengeluarkan maklumat pembekuan DPR dalam dekrit
tidak membuahkan hasil. MPR yang tengah menggelar Sidang Istimewa langsung
menolak dekrit itu dengan Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2001 tentang Sikap Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia terhadap Maklumat Presiden Republik
Indonesia Tanggal 23 Juli 2001. Maklumat tersebut juga mengantarkan lebih cepat
pada pemakzulannya oleh MPR pada saat itu juga. Abdurrahman Wahid menjadi
presiden kedua yang dimakzulkan oleh MPR di tengah masa jabatannya, berdasarkan
Ketetapan MPR Nomor II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik
Indonesia K.H. Abdurrahman Wahid.
Megawati Soekarnoputri
Megawati
Soekarnoputri adalah Presiden ke-5 Indonesia. Jabatan
pertamanya dimulai 23 Juli 2001. Megawati menggantikan Gus Dur karena posisinya
sebagai wakil presiden. Ia adalah wakil presiden kedua yang menggantikan
presiden ketika berhenti dalam masa jabatannya. Megawati diangkat oleh MPR
sebagai presiden dengan Ketetapan R Nomor III/MPR/2001 tentang Penetapan Wakil
Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri Sebagai Presiden Republik
Indonesia. Masa jabatannya kurang dari 5 tahun sebab ia hanya mewarisi masa
jabatan Gus Dur. Presiden perempuan pertama Indonesia ini didampingi oleh Wakil
Presiden Hamzah Haz
yang memenangkan pemilihan wakil presiden oleh MPR dari rivalnya Susilo
Bambang Yudhoyono. Hamzah oleh MPR diangkat sebagai wakil
presiden dengan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/ 2001 tentang Pengangkatan Wakil
Presiden Republik Indonesia. Catatan dalam masa jabatannya adalah Pemilu Legislatif
pada April 2004 serta Pemilu Presiden pada Juli 2004. Pada Pemilu Presiden 2004, Megawati harus
mengakui keunggulan SBY setelah melalui dua putaran pemilihan. Ia mengakhiri
masa jabatan pertamanya pada 20 Oktober 2004, sehari lebih lama dari sisa masa jabatan
Gus Dur yang dilimpahkan kepadanya.
Susilo Bambang Yudhoyono
Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Indonesia
2004–2009 dan 2009–2014
Susilo
Bambang Yudhoyono adalah Presiden ke-6 Indonesia. Jabatan
pertamanya dimulai pada 20 Oktober 2004.
Ia bersama pasangannya Muhammad
Jusuf Kalla memenangi Pemilu Presiden 2004 yang merupakan
pemilihan presiden secara langsung yang pertama kali. Setelah mengakhiri masa
jabatannya yang pertama, SBY kembali mengucapkan sumpah jabatan presiden untuk
kedua kalinya di hadapan sidang MPR pada 20 Oktober 2009.
Kali ini ia didampingi oleh Boediono
sebagai wakil presiden.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar